Anggaran Penyidikan Instansi Hukum Sangat Besar Tapi Kinerja Penindakan Korupsi di Tahun 2020 Hanya 20%, Kenapa?

Jakarta, TJI – Hingga saat ini, kasus korupsi masih menjadi masalah yang besar bagi negara-negara yang ada di dunia. Di negara indonesia saja, kasus korupsi masih merajalela.

Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah musuh bersama pemerintah dan rakyat setiap berganti rezim selalu dan senantiasa menyertai praktek pemerintahan kita.

Salah satu upaya dengan dibentuknya UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001.

Faktanya, berbagai produk hukum dan peraturan perundang-undangan terkait pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi masih melewati jalan terjal di tingkat implementasi.

Meskipun miliaran uang rakyat sudah digelontorkan untuk mengkampanyekan pencegahan tindak pidana korupi. Akan tetapi, dihati dan sanubari para pelaku praktek haram itu seolah melebur dalam adagium klasik : “anjing menggonggong, kafilah berlalu”. Praktik haram itu lalu tumbuh seperti virus berbahaya kemudian menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan negara.

Sudah barangtentu, praktek korupsi itu tak berdiri sendiri. Tak sekadar dilakukan secara individu. Ia juga melibatkan satu atau dua orang, oknum yang bergerak di bidang korporasi, bahkan penguasa yang ditengarai bekerja sama dengan oknum politisi yang bersinggungan langsung dengan kekuasaan yang tengah digenggamnya.

Akal sehat kita akan sulit dibohongi kalau perilaku koruptif bebas dari kekuasaan politik maupun oknum elite politik yang tengah mengemban jabatan publik. Karena itu, memohon maaf dan meletakkan jabatan publik adalah sikap Ksatria yang sejatinya diambil untuk menunjukkan bahwa moral adalah modal sosial di atas segalanya.

Seperti yang disampaikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini, negara telah banyak menggelontorkan dana untuk menindak dan mencegah tidakan pidana korupsi. Bahkan membiaya berbagai lembaga hukum untuk menyelidikinya, dan diharapkan dana yang dikorupsi oleh oknum-oknumnya bisa kembali ke kas negara. Dan negara tidak terlalu banyak dirugikan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis kajian ‘Kinerja Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2020’. Periode pemantauan yakni 1 Januari-31 Desember 2020, serta penilaian kinerja penindakan berbasis Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) tahun tersebut.

Dalam kajian ini ICW mengkerucut kepada tahap penyidikan yang telah ada penetapan tersangka. Salah satu temuan berkaitan dengan jumlah dana serta penilaian kinerja penindakan.

Penilaian dihitung berdasarkan kasus korupsi yang terpantau oleh ICW dan dibandingkan dengan target penindakan kasus korupsi selama tahun lalu.

Hasilnya, kinerja penindakan kasus korupsi oleh institusi penegak hukum sepanjang tahun 2020 hanya 20 persen dan bernilai sangat buruk atau E.

Lantas, temuan umum kajian ini yaitu:

  1. 444 kasus penyidikan dengan penetapan tersangka (374 kasus baru/84,2 persen, 55 pengembangan kasus/12,4 persen, dan 15 OTT/3,4 persen);
  2. 875 tersangka;
  3. Rp18,6 triliun kerugian negara;
  4. Rp86,5 miliar suap;
  5. Rp5,2 miliar pungutan liar.

Perihal penindakan kasus korupsi oleh institusi penegak hukum, secara tren cenderung menurun pada tahun 2015-2020.

Sedangkan nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi, cenderung meningkat.

“Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah setiap tahun semakin lemah dari segi pengawasan,” jelas Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW Wana Alamsyah, Minggu (18/4/2021), dalam konferensi pers daring.

Kemudian, tren penindakan korupsi berdasarkan modus yakni penggelapan merupakan modus yang paling sering digunakan oleh pelaku korupsi.

Modus lainnya yang sering digunakan adalah kegiatan/proyek fiktif, mark up, dan laporan fiktif.

Wana melanjutkan, ketiga modus tersebut kerap ditemukan dalam kasus korupsi pengadaan barang atau jasa, serta terdapat fenomena baru yaitu korupsi bermodus memanipulasi saham.

Sementara terkait dana penyidikan, ICW memaparkan anggaran penyidikan yang dikeluarkan institusi penegak hukum.

“Total anggaran penyidikan yang dikelola oleh institusi penegak hukum mencapai Rp381,6 miliar,” kata Wana.

Pada lembaga Polri, misalnya, di ranah tingkat pusat menargetkan 25 kasus per tahun dengan masing-masing perkara butuh dana Rp298,7 juta.

Di tingkat provinsi, Polri menargetkan 2-47 kasus per tahun dengan alokasi dana Rp182 juta-Rp1,3 miliar per perkara; di tingkat kabupaten/kota, ada 1-75 target kasus yang tiap perkara mendapatkan kucuran uang Rp6,4 juta-Rp543,2 juta.

Kejaksaan beda cerita. Instansi ini butuh dana Rp158,7 juta per kasus yang ditangani di tingkat pusat, dengan target 50 perkara setiap tahun; Rp129,8 juta per kasus di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dengan target 1 kasus per tahun.

Sementara, Komisi Pemberantasan Korupsi hanya menargetkan 120 kasus di tingkat pusat dalam satu tahun, dengan anggaran Rp244,5 juta per perkara. “Target penindakan kasus korupsi oleh institusi penegak hukum selama tahun 2020 ada 2.225 kasus korupsi dengan total anggaran Rp300-an miliar,” imbuh Wana.

Korupsi adalah sumber segala bencana dan kejahatan atau The Root Of All Evils. Koruptor bahkan relatif lebih berbahaya dibandingkan teroris. Uang triliunan rupiah yang dijarah koruptor, misalnya, adalah biaya hidup-mati puluhan juta penduduk miskin Indonesia. Dalam konteks itu, koruptor adalah The Real Terorist.

Adalah mimpi di siang bolong untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan serta mutu pendidikan, dan lain-lain bila korupsi masih dibiarkan menari-nari di depan mata, dan jikalau aparat penegak hukum masih tebang pilih atau masih kurang profesional dalam menindak pelaku korupsi.

**Agus Jaya Sudrajat (Pemimpin Redaksi Media Times Jurnalis Indonesia, – Wakil Ketua Umum Forum Media Indonesia Bersatu, – Ketua Ormas Laskar Banten DPC Kota Bandung**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkini