TJI, Kupang (NTT) – Kasus penggusuran masyarakat adat Pubabu-Besipae ditanah adatnya sendiri menuai protes dari banyak kalangan.
Masyarakat adat Pubabu-Besipae yang bersikukuh mempertahankan hutan adat ‘Kio’ berimbas pada penggusuran rumah tempat tinggal warga Pubabu-Besipae. Sebanyak 29 rumah milik warga dibongkar paksa aparat Polisi Pamong Praja Propinsi Nusa Tenggara Timur pada Agustus 2020 yang dikawal ketat aparat Kepolisian dari Brimob Polda NTT.
Direktur Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhamad Arman, SH, MH sebagai anggota tim hukum masyarakat adat Pubabu-Besiape saat dikonfirmasi media ini Minggu, (6/9/2020) melalui telp seluler di Jakarta menyebutkan “soal hutan dan tanah adat itu dilindungi konstitusi termasuk di Pubabu-Besipae, keberadaanya jauh sebelum negara ada, harus dihormati semua pihak.
Menghormati masyarakat adat bagian dari prinsip hak asasi manusia. Soal keberadaan masyarakat adat Besipae itu masyarakat adat yang lebih tahu.
Terkait tindakan hukum lanjutan yang dilakukan tim hukum, kami sudah mengumpulkan dan mengkaji bukti-bukti, Komnas HAM sudah turun kelokasi, sekalipun kami sudah baca rekomendasi Komnas HAM, tapi secara formal kami belum terima rekomendasi dari Komnas HAM. Kami akan mengkaji dan menindaklanjuti apa-apa yang belum dilakukan.
Kami juga akan membuat pengaduan ke Propam Polri dan lembaga-lembaga Negara lain yang berkepentingan terkait masalah Besipae. Soal pembatalan sertifikat hak pakai juga dilakukan, dan sedang dikaji tim hukum Besipae di Kupang dan langkah hukum akan diambil”, jelas Arman.
Kordinator Tim Hukum Masyarakat Adat Pubabu-Besipae Akhmad Bumi, SH kepada wartawan Sabtu, (5/9/2020) menjelaskan “yang mendampingi masyarakat adat Pubabu-Besipae ini ada banyak lembaga hukum yang terlibat. Baik Jakarta maupun NTT, ini tim hukum gabungan daerah dan nasional.
Ada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Firma Hukum ABP, LKBH FH Undana, LBH Justitia, LBH Sarneli, KPA, Solidaritas Perempuan dan masih ada lagi.
Konflik tanah adat Pubabu-Besipae antara masyarakat adat Pubabu-Besiapae dan Pemerintah Propinsi NTT bersumber pada penerbitkan sertifikat hak pakai. Sertifikat hak pakai diatas tanah adat Pubabu-Besipae dengan Nomor 00001/1986 tanggal 29 Januari 1986, luas 37.800.000M2 atau 3.780 hektar dengan pemegang hak pakai Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur itu yang ditolak masyarakat adat.
Karena didalam sertifikat hak pakai ada hutan adat ‘Kio’ milik masyarakat adat Pubabu-Besipae sebagai sumber penghidupan”, jelas Bumi.
Kio Pubabu
Sumber media ini menyebutkan ‘Kio’ Pubabu-Besipae adalah suatu daerah yang diperuntukan bagi keseimbangan alam baik berupa hutan dan binatang yang bergantung pada keaslian alam di dalam Kio dimaksud. Di dalam Kio ditetapkan berdasarkan sebuah ritual yang dilaksanakan oleh imam atau ana’ amnes dengan dihadiri oleh seluruh masyarakat adat.
Ritual dilakukan untuk meminta restu dari penguasa langit (Uis Neno) dan penguasa bumi (Uis pah) serta roh-roh nenek moyang (nai’am be’) untuk turut menjaga tanaman dan binatang hutan di dalam Kio dimaksud. Upacara ini sering disebut “nasaeba’ Banu”.
Dalam budaya Timor, kayu merah merupakan kayu yang penting untuk membangun rumah atau lopo. Tiang-tiang Lopo maupun balok besar diatasnya yang disebut tfa’ terbuat dari kayu ini. Itulah sebabnya Kio dikhususkan dalam hukum adat Amanuban untuk melestarikan kayu merah, juga cendana serta binatang hutan seperti rusa, kerbau, babi hutan, kera, musang dan burung-burung sebab dari binatang-binatang inilah proses berkembangnya cendana terjadi secara alami melalui feses burung, musang dan binatang liar lainnya.
Cendana tidak pernah ditanam oleh orang Timor namun itu tumbuh secara alami oleh keseimbangan alam. Eksplotasi secara masal tidak dapat terjadi sebab Kio berfungsi sakral dengan upacara atau ritual yang dipercaya oleh masyarakat adat Amanuban dan memiliki makna magis.
Di Kio Pubabu sendiri, dinamai karena disana banyak Nono Babu, sejenis sulur-suluran yang mengandung air. Apabila rakyat berburu disana dan haus, maka mereka akan menarik sulur ini ke tanah (pu’) dan memotong sulur-sulur ini lalu dan meminum air di dalam sulur-suluran ini.
Itulah sebabnya Kio ini dinamai Pubabu. Semenjak itu, Kio tidak pernah dilalui oleh orang sebagai jalan umum hingga tahun 1983 saat proyek Pengembangan Pangan dan penggemukan sapi ini berjalan berganti nama menjadi Besipae dan dibuatlah jalan umum membelah kio ini.
Muh Arman/Direktur Aman (*/Red)