Firma Hukum ABP, LKBH Fakultas Hukum UNDANA Kirim Surat Untuk Kapolda NTT

   Kupang, TJI

Nomor          : PH.02/ABP-LKBH.FH/VIII/2020

Perihal          : PENYAMPAIAN.-

Kepada Yth:

Kepala Kepolisian Daerah NTT

Di –

           Kupang

Dengan hormat,

—Untuk dan atas nama Masyarakat Adat Besipae, kecamatan Amnuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur berdasar Surat Kuasa Khusus tanggal 14 Agustus 2020, dengan ini kami menyampaikan kepada bapak terkait konflik tanah (adat) di Besipae, Kecamatan Amnuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur hingga berakibat pada penangkapan 2 (dua) warga masyarakat adat Besipae yakni; Kornelius Numley (64) dan Anton Tanu (18) tanpa adanya surat penangkapan dan surat pemberitahuan kepada keluarga sebagai berikut;

  1. URAIAN SINGKAT MASALAH
  1. Masyarakat adat Besipae adalah komunitas masyarakat adat yang hidup dan kehidupannya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka yang berada dibawah NABUASA/tetua adat (Nabuasa adalah perpanjangan tangan dari Raja Nope/Raja Amnuban), Nabuasa kemudian turun pada Besi dan Pae (Besi Pae) yang dikenal dengan Meo yakni Meo Besi dan Meo Pae (Nama Leluhur). Meo Besi membawahi 4 (empat) Amaf yakni Lopo, Pu’ai, Na’u, Tunliu. Sedangkan Pae memiliki 4 (empat) Amaf yakni; Tefu, Mana’o, Biaf dan Kabnani. Hal tersebut menjadi ikatan kekerabatan (territorial) dalam rumpun masyarakat adat setempat yakni Besi Pae, berikut hak-hak atas tanah dan hutan adat berlangsung hingga kini.
  • Pada tahun 1982, dikabupaten Timor Tengah Selatan diadakan proyek percontohan intensifikasi Peternakan Besi Pae. Untuk mensukseskan program tersebut Gubernur NTT, Bupati Timor Tengah Selatan memberi pengarahan pada masyarakat agar menyediakan lahan di desa Oe Kam, Mio, Polo dan Linamnutu. Untuk itu akhirnya masyarakat, tua-tua adat bersedia memberikan tanahnya seluas 6000 (enam) ribu hektar. Pemberian tersebut dengan syarat-syarat agar rumah-rumah, kebun dan tanaman milik masyarakat setempat yang berada dalam kawasan proyek tersebut tetap dikelolah oleh masyarakat. Kontrak diadakan selama 5 (lima) tahun yakni 1982 hingga 1987.
  • Saat berakhirnya masa kontrak, pada tahun 1987 diadakan pertemuan yang dihadiri pihak Pemerintah, pihak Australia, dan masyarakat adat setempat; Pihak Pemerintah dan pihak Australia menyerahkan tanah tersebut kembali kepada masyarakat adat setempat.
  • Pasca kontrak kerjasama antara Pemerintah Propinsi NTT dan Pihak Australia pada tahun 1987 tersebut, Dinas Peternakan Kabupaten Timor Tengah Selatan menggunakan lahan bekas proyek tersebut untuk Hutan Makanan Ternak (HMT) seluas 21 hektar, disinilah konflik bermula lahir.
  • Pada tahun 2003, proyek Gerhan dilaksanakan didesa Mio seluas 150 hektar, lahan hutan didesa Mio ditumbuhi pohon Kabesak, Kayu Merah, Kapok Hutan, Nitas, Laot, Bambu, Tii, Asem dibabat dan dilakukan pembakaran. Penanaman pada proyek Gerhan hanya berlangsung 2 (dua) tahun, pohon-pohon yang ditanam seperti Gamelin, Mahoni, Jati, Kemiri dan Johar tidak tumbuh dengan baik, sebagiannya mati dan sebagian lainnya tumbuh disemak-semak duri. Pada tahun 2006, proyek Gerhan dilakukan di desa Oe Kam, proyek hutan di Oe Kam diperlakukan sama dengan di desa Mio.
  • Proyek Gerhan di desa Mio dan desa Oe Kam ditolak oleh masyarakat adat, tapi penolakan tersebut tidak diindahkan. Pada tahun 2008, proyek Gerhan merambat ke desa Pollo dan desa Linamnutu, masyarakat adat menolak tapi tidak diindahkan, akhirnya masyarakat adat melakukan demo di DPRD, Pemda dan melaporkan pembabatan, pembakaran hutan di Polda NTT dengan Laporan Polisi Nomor; Pol.: STPL/157/XI/2008/Dit Reskrim tanggal 3 November 2008.
  • Pasca kerja sama dalam pelaksanaan proyek percontohan intensifikasi Peternakan tersebut, lahan tersebut tidak dikembalikan kepada masyarakat adat Besipae sebagai pemilik lahan (tanah adat), tapi pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan menggunakan lahan tersebut sebagai kawasan budidaya untuk tanaman komoditas dengan skema HGU (Hak Guna Usaha) melalui gerakan nasional rehabilitasi hutan (Gerhan) hingga 2008 tanpa melibatkan masyarakat adat setempat. Pada tahun 2008 hendak dilakukan perpanjangan HGU tapi mendapat penolakan dari masyarakat adat setempat.
  • Alasan penolakan karena hutan tersebut adalah hutan masyarakat (hutan adat), yang diatasnya terdapat pohon-pohon (bukan hutan gundul) sehingga tidak dibutuhkan proyek Gerhan. Proyek dijalankan tanpa proses sosialisasi. Dan pelaksanaan proyek Gerhan pada tahun 2003 di desa Mio dan 2006 di desa Oe Kam yang dilakukan dengan pembabatan hutan, menyebabkan kekeringan pada mata air. Di dusun Besi Pae yang mengairi 50 hektar sawah milik masyarakat.
  • Pada tahun 1995, Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan mengeluarkan register tanah kehutanan (NTK) nomor 29 yang ditandatangani oleh Gubernur NTT dan termuat dalam berita acara tata batas Negara, yang memasukan kawasan hutan Pupabu-Besi Pae masuk pada kawasan hutan Negara (fungsi hutan lindung) seluas 2900 Ha tanpa melibatkan masyarakat adat setempat.
  1. Pada tahun 2011, masyarakat adat Pupabu yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITAPKK) membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan Propinsi NTT di instalasi Besipae dengan nomor surat: 03/ITAPKK/II/2011.
  1. Pada tahun 2013 diterbitkan sertifikat hak pakai Nomor; 00001 tanggal 19 Maret 2013 seluas 37.800.000 M2 sebagai dasar atas kepemilikan hutan adat Pupabu oleh Pemerintah.
  1. Sertifikat hak pakai lahir bersumber dari tanah Negara, tanah pengelolaan dan tanah hak milik. Sementara tanah tersebut adalah tanah milik adat Besipae-Nabuasa, harusnya melalui pelepasan hak oleh masyarakat adat setempat dihadapan PPAT sesuai Peraturan Pemerintah Nomor; 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Karena penerbitan sertifikat hak pakai yang tata caranya tidak berdasar hukum dan tanpa diketahui oleh masyarakat adat setempat, maka lahirlah konflik dan konflik tersebut semakin panas hingga kini.
  1. Bahwa situasi semakin panas ketika kedatangan Polisi Pamong Praja, Dinas Peternakan Timor Tengah Selatan yang dikawal Kepolisian Daerah NTT membawah surat Nomor; BU.030/105/BPPKAD/2017 tanggal 17 Oktober 2017, Perihal; Penegasan Tentang Tanah Instalasi Besipae Milik Pemerintah Propinsi NTT dengan tujuan mengosongkan lahan milik Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan alasan tanah tersebut milik Pemerintah atas dasar Sertifikat Hak Pakai tersebut diatas, konflikpun berlarut-larut hingga saat ini.
  1. Mencermati asal mula konflik dan penguasaan tanah adat secara sepihak oleh Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur tersebut, maka telah melahirkan konflik atau masalah hukum. Pihak Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur dan masyarakat adat Besi Pae harus mengujinya melalui Pengadilan, putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetaplah yang diakui, seterusnya dilakukan eksekusi dan semua pihak menghormati putusan Pengadilan tersebut. Tidak dibenarkan menurut hukum melakukan kekerasan, pengrusakan hak milik warga adat Besi Pae secara sepihak seperti yang dilakukan saat ini.
  • PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights adalah sebuah deklarasi yang di adopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris, Perancis melalui General Assembly Resolution 217 A (III). Deklarasi ini merupakan standar umum yang menyatakan bahwa hak asasi manusia secara internasional haruslah dilindungi.

Sejak negara Indonesia diproklamirkan menjadi negara merdeka pada 17 Agustus 1945, para pendiri Republik Indonesia sepakat bahwa negara berlandaskan pada hukum yang diartikan sebagai konstitusi dan hukum tertulis yang mencerminkan penghormatan kepada HAM. Undang-Undang Dasar ialah piagam tertulis yang sengaja diadakan dan memuat segala apa yang dianggap oleh pembuatnya menjadi asas fundamental dari negara.

Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sementara Deklarasi PBB pada tahun 1948. Hal tersebut menggambarkan pada dunia bahwa bangsa Indonesia sebelum adanya pernyataan HAM sedunia oleh PBB, sudah lebih dulu mengangkat dan melindungi hak asasi manusia  dalam kehidupan bernegara yang tertuang dalam UUD 1945.

Undang-Undang Nomor; 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah penghormatan kepada manusia yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya.

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Hak-hak dasar warga yang diakui dalam UUD 1945 (amandemen) antara lain;

  • Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, (Pasal 27 ayat 2).
  • Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan. “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, (Pasal 28A).
  • Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang”. Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia,  (Pasal 28C ayat 1).
  • Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya, (Pasal 28C ayat 2).
  • Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, (Pasal 28D ayat 1).
  • Hak untuk untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, (Pasal 28I ayat 1).
  • KONDISI YANG TERJADI

Atas konflik masyarakat adat Besi Pae dan Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur tersebut, telah terjadi hal-hal sebagai berikut;

  • Pemerintah Propinsi NTT melakukan upaya paksa terhadap masyarakat adat Besi Pae untuk mengosongkan lahan tersebut, selain itu Pemerintah Propinsi NTT memaksa masyarakat Pupabu (Besi Pae) untuk menandatangani surat pengosongan lahan / tanah adat tersebut, hal tersebut mendapat penolakan dari warga masyarakat adat setempat, hingga melahirkan konflik yang semakin panas hingga aksi “telanjang dada” pada bulan Mei 2020 oleh perempuan setempat sebagai symbol mempertahankan hak-hak adat mereka.
  • Pembongkaran / perusakan rumah milik warga secara melawan hukum tersebut menjadi persoalan tersendiri dalam hukum. Rumah yang dibongkar adalah rumah milik warga yang dibangun diatas lahan tanah adat. Secara fisik warga masyarakat adat setempat menguasai lahan tersebut, dasar penguasaan karena telah terjadi penyerahan kembali lahan pasca kontrak antara Pemerintah Propinsi NTT dan pihak Australia pada tahun 1987 dalam proyek percontohan intensifikasi Peternakan Besi Pae. Penyerahan kembali lahan tersebut dilakukan oleh Pemerintah dan pihak Australia.
  • Karena terjadi penggusuran atau pembongkaran paksa rumah milik warga masyarakat adat Besi Pae, sehingga warga masyarakat adat yang rumahnya dibongkar tersebut bersama anak-anak tidur dibawah pohon, dengan makan makanan secara patungan dari warga setempat.
  • Terjadi intimidasi terhadap warga masyarakat adat Besipae terkhususnya warga-warga yang menolak rumahnya dibongkar secara paksa oleh oknum Polisi Pamong Praja, dan warga yang menolak tanah adat tersebut menjadi tanah milik Pemerintah.
  • Terjadi penangkapan dua warga masyarakat adat Besi Pae yakni Korenelius Numley (64) yang ditangkap pada Jumat, 14 Agustus 2020 dan Anton Tanu (18) yang ditangkap pada Senin, 10 Agustus 2020, keduanya ditangkap di Besi Pae, Kecamatan Amnuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
  • Penangkapan tersebut, berdasar keterangan istri dan anak Kornelius Numley serta warga masyarakat adat Besi Pae pada Jumat, 14 Agustus 2020, kedua warga Besipae tersebut diatas, diambil oleh 6 (enam) Anggota Brimbob, 1 (satu) intel Polisi dan Kepala UPTD Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur.
  • Saat penangkapan, tidak diberikan atau menunjukan surat penangkapan dan tembusannya disampaikan kepada keluarga yang bersangkutan sesuai KUHAP kecuali tertangkap tangan, serta saat penangkapan tidak menjelaskan tindak pidana apa yang diduga dilakukan oleh kedua warga Besipae tersebut.

Berdasar hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, dan dengan melihat situasi yang dialami oleh warga adat Besi Pae yang sangat memprihatinkan, serta untuk menjamin perlindungan hak-hak dasar warga masyarakat adat Besi Pae, dengan ini kami menyampaikan kepada bapak sebagai berikut;

  1. Mohon dipertimbangkan untuk menarik pasukan aparat keamanan (Brimob)  dilokasi Besipae sambil menunggu proses hukum yang akan digugat secara perdata di Pengadilan hingga berkekuatan hukum tetap, hal ini untuk menjamin kepastian hukum terkait kepemilikan tanah yang menjadi sumber konflik di Besi Pae.
  • Aparat yang ditugaskan dilokasi Besi Pae kiranya diberi petunjuk dalam menjalankan tugas dengan menjunjung tinggi hukum dan menghormati hak-hak masyarakat setempat dengan harapan agar tidak melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap warga masyarakat adat setempat.
  • Menyesalkan penangkan terhadap kedua masyarakat adat yang ditangkap yakni Kornelius Numley (64) dan Anton Tanu (18) yang dilakukan dengan tata cara yang melanggar KUHAP.
  • Mohon mengembalikan masyarakat adat yang ditangkap tersebut dalam keadaan baik dan sehat sebagaimana biasanya, dan mohon penjelasan bapak terkait penangkapan kedua warga masyarakat adat tersebut, alasan penangkapan, terkait dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan, agar keluarga yang bersangkutan dapat mengetahui secara pasti sesuai apa yang disyaratkan dalam KUHAP.
  • Rumah warga yang dibongkar secara paksa dilokasi Besipae, diduga dilakukan oleh oknum Polisi Pamong Praja, perbuatan tersebut diduga merupakan perbuatan pidana, olehnya dapat dilakukan proses hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku sesuai laporan polisi (LP) yang akan kami ajukan di Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur.
  • Semua pihak dapat menahan diri dengan tidak melakukan pembongkaran rumah milik warga masyarakat adat Besi Pae secara melanggar hukum, dan tidak melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap warga setempat secara tidak patut menurut hukum, baik Pemerintah Propinsi NTT dan masyarakat adat Besi Pae dapat menguji penguasaan lahan tersebut di Pengadilan, selanjutnya diuji secara patut sesuai ketentuan yang berlaku.

Demikian surat kami, atas perhatian bapak dan kerja sama yang baik kami haturkan terima kasih.-

Kupang, 17 Agustus 2020

Tembusan Yth:

  1. Presiden RI
  2. Mentri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI
  3. Kapolri
  4. Komnas HAM RI
  5. Gubernur NTT
  6. Ketua DPRD NTT
  7. Ombudsman Perwakilan NTT
  8. Bupati TTS
  9. Ketua DPRD TTS
  10. Kapolres TTS
  11. Arsip.-
Berita Terkini