Opini, BKP – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Perdagangan adalah pejabat negara yang paling bertanggung jawab, akibat langkanya minyak goreng di pasaran tradisional maupun pasar modern (mini market).
Sampai Bulan Maret 2022 ini, minyak goreng di minimarket sering tidak tersedia. Pelayan minimarket menjelaskan minyak goreng harga Pemerintah Rp. 14.000/liter di drop 2 – 3 kardus, dalam waktu 2-3 jam ludes diserbu pembeli. Datangnya 3 hari kemudian dengan jumlah yang sama.
Ingatkah beberapa waktu yang lalu?, tabung oksigen sempat langka, banyak pasien Covid-19 keburu meninggal karena tidak sempat mendapatkan bantuan oksigen. TNI-Polri turun, mencari mereka yang menimbun stok tabung oksigen, dan beberapa industri tambang besar buru-buru memasuk stok oksigen yang dimilikinya. Akhirnya persoalan kelangkaan oksigen dapat diatasi, RS tertolong mendapatkan oksigen untuk pasien Covid-19.
Lalu bagaimana dengan minyak goreng?, katanya ada Satgas untuk kendali harga dan ketersediaan stok minyak goreng, tidak berdaya.
Apakah perlu Polri kembali turun tangan? Apakah hal itu tidak memalukan bagi birokrasi di Kementerian Perdagangan?
Simak apa yang dikatakan Sekretaris Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag I G Ketut Astawa yang juga ikut mengeluh karena pihak Kementerian Perdagangan bingung kenapa macet distribusi minyak goreng, sedangkan produsen menyatakan produksi mereka cukup banyak.
Ketut mengklaim jika dicek di tingkat produsen, produksi minyak goreng yang berjalan saat ini seharusnya mencukupi kebutuhan domestik.
“Kalau kita lihat data yang ada komitmen dari produsen CPO itu sudah mencapai 351 juta liter selama 14 hari, kebutuhan kita selama per bulan sebenarnya berkisar antara 279 sampai 300 juta liter,” kata Ketut, dikutip dari Antara, Minggu (6/3/2022).
Ketut bilang, para produsen sudah mematuhi aturan Domestic Market Obligation (DMO) yang sudah dikeluarkan pemerintah. Pihaknya mencatat, produsen minyak goreng sudah memasok sebanyak 351 juta liter untuk kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
Dengan asumsi perhitungan produksi seluruh pabrik minyak goreng dan kebutuhan di masyarakat, seharusnya membuat pasar dalam negeri kebanjiran produk minyak goreng dalam jangka waktu sebulan. Yang terjadi justru sebaliknya, kelangkaan. Di pasar ritel modern ataupun tradisional masih sulit ditemukan produk minyak goreng sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET).
Masih dalam dugaan, lanjut Ketut, kelangkaan ini akibat oknum yang menimbun minyak goreng dalam jumlah besar.
“Oleh karena itu, kami beserta jajaran juga sedang mencari di mana letak simpulnya ini (minyak goreng langka), apakah ada yang menimbun. Dan memang ada beberapa hal seperti temuan Satgas Pangan di Sumatera Utara, termasuk di Kalimantan, dan sebagainya,” ujar Ketut.
Senada dengan Ketut, pejabat Kemendag lainnya, Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan, Didid Noordiatmoko juga mengaku tak bisa menjawab alasan pasti kenapa minyak goreng bisa hilang dari pasaran. Ketika ditanya mengapa kelangkaan minyak goreng ini berlarut-larut, Didid mengatakan ini lantaran kompleksnya persoalan dari hulu hingga ke hilir. Padahal hasil riset menyebutkan kebutuhan minyak goreng per orang hanya 0,8-1 liter per bulan. Artinya, kini banyak rumah tangga menyetok minyak goreng.
“Tapi ini baru terindikasi (warga menimbun minyak goreng di rumah),” kata dia saat kunjungan kerja ke Palembang baru-baru ini. Benarkah demikian?
Kondisi di Masyarakat
Setiap hari televisi dan media sosial, memberitakan kelangkaan minyak gorang. Emak-emak mengantri panjang untuk mendapatkan minyak goreng murah, berakhir ludes walaupun banyak yang belum kebagian. Bahkan ada yang saling berebutan kupon. Kupon tersedia 250 kupon, yang datang seribuan orang lebih, akhirnya dibatalkan. Kita miris sekali melihatnya.
Anehnya, di pasaran bukan tidak ada minyak goreng secara total. Tersedia dengan harga diatas HET, antara 17 ribu bahkan 20 ribu per liter. Bagaimana kita tidak miris melihat suasana antri emak-emak itu, berjuang untuk mendapat 1 atau 2 liter minyak goreng dengan selisih harga 3.000 sampai dengan 6000. rupiah.
Sebagai penyelenggara negara yang diberikan tugas menangani perdagangan, lebih banyak bingungnya menghadapi persoalan minyak goreng, tidak dapat diterima oleh akal sehat. Para pejabat yang bekerja di kementerian Perdagangan tentu sudah paham perilaku pasar. perilaku pedagang, perilaku pembeli dan perilaku birokrasi di kementerian itu sendiri.
Mereka yang diangkat dalam jabatan struktural karier Direktur, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal, Inspektur bukanlah anak kemarin sore. Kelangkaan komoditi sembako bukanlah sesuatu yang baru. Mereka pasti sudah tau pola nya. Siapa yang bermain. Apakah ada peng-peng, dikepala mereka sudah ada jawabannya.
Ada beberapa persoalan mulai dari hulu sampai ke hilir yang menjadi perhatian masyarakat. Pada tingkat produsen apakah DMO yang disepakati itu di laksanakan atau tidak. Karena menggunakan HET yang ditetapkan Pemerintah. Diatas kertas iya, di lapangan apakah pihak satgas melakukan pengawasan terhadap produksi minyak goreng? Jangan – jangan masuk pabrik saja dipersulit, atau dibolehkan masuk pasang kaca mata kuda?
Jika dikalangan produsen sudah clear and clean, tentu lebih mudah menyisirnya di jaringan distribusi. Mereka yang sebagai distributor, agen, sub agen, pasti sudah tercatat dan terdata stok quota yang diperolehnya, tentu sekalian dengan price list nya.
Satgas Pangan Polri menemukan, kelangkaan minyak goreng terjadi karena pelaku usaha menahan stok.
“Ditemukan pelaku usaha yang menahan stok, karena membeli sebelumnya dengan harga lama yang lebih mahal dari harga baru,” ujar Ketua Satgas Pangan Polri Irjen Helmy Santika dalam keterangan tertulis, Jumat, (4/3/2022).
Kasus pelaku usaha menahan stok ditemukan di Makassar (Sulawesi Selatan), Medan (Sumatera Utara), Lampung, Nusa Tenggara Timur (NTT), Lebak dan Serang (Banten).
Terkait temuan itu, Satgas Pangan Polri kemudian mendorong agar minyak goreng segera didistribusikan sesuai mekanisme pasar.
“Polri menghimbau untuk segera mendistribusikannya, jangan kurangi produksi dan alokasi distribusi,” ucapnya.
Dari Satgas Pangan Polri, sudah terlihat simpulnya. Yaitu ada pelaku usaha yang menahan stok karena membeli dari produsen/distributor harga sudah lebih tinggi dari HET yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah sudah gencar menyatakan harga eceran tertinggi (HET) ke masyarakat Rp. 14 ribu/L.
Pemerintah harus menjaga wibawa dan kredibilitasnya di mata masyarakat. Pemerintah harus bisa menekan pelaku usaha dan produsen untuk duduk bersama mencari win-win solution, agar pelaku usaha tidak merugi.
Caranya bagaimana? Pelaku usaha menjual minyak goreng dengan HET yang ditetapkan pemerintah kepada masyarakat, selisih harga yang merupakan nilai kerugian pelaku usaha dikompensasikan untuk mendapatkan harga khusus dalam mendapatkan quota minyak goreng pemesanan berikutnya dari produsen.
Kalau produsen tidak bersedia bagaimana? Mudah saja, Presiden Jokowi perintahkan Pengusaha yang menjadi Penguasa menyelesaikannya. Berhasilkah? Belum tentu. Tergantung siapa dan dapat apa.
Apakah ada aspek politis nya?
Kejadian antri panjang di beberapa propinsi itu merupakan dampak di hilir, atas kebijakan di hulu atau pusat.
Ada yang berpendapat, jika persoalan minyak goreng tidak selesai, berdampak pada Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, yang juga Ketua Umum Golkar.
Terkuaknya berita di berbagai media tentang latar belakang Ketua Umum Golkar Airlangga Hartanto, mendukung penundaan Pemilu yang katanya sesuai dengan aspirasi petani sawit di Riau. Jika menolak, Airlangga bisa terdepak dari Kabinet karena persoalan minyak goreng. Memberikan pesan alasan yang masuk akal.
Menurut hemat saya, itu hanya cerita-cerita di warung kopi sebagai bumbu penyebab atas hebohnya soal penundaan Pemilu 2024, yang sudah mulai terkuak siapa back mind nya.
Ketua Ormas Laskar Banten DPC Kota Bandung meminta pemerintah segera memberikan solusi serta membereskan persoalan ini, agar tidak membuat rakyat semakin bingung dan sengsara.
“Tidak ada alasan apapun, sebaiknya pemerintah segera menyelesaikan permasalahan ini, mengingat dengan ditambah masalah minyak goreng ini, rakyat makin sengsara”, pungkas Agus Jaya Sudrajat.