ICW : Pembahasan RUU Permasyarakatan di Tengah Pandemi Tidak Tepat

Jakarta, TJI -Kurnia Ramadhana, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), menyoroti pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Permasyarakatan yang dibahas di tengah pandemi Virus Corona (Covid-19). Pembahasan mengenai RUU tersebut telah disepakati dalam rapat paripurna di DPR April lalu.

“Kita melihat momentumnya tidak tepat saat ini. Di tengah isu pandemi seperti ini, DPR harusnya mengeluarkan legislasi yang berkaitan dengan isu kesehatan untuk mempercepat (pencegahan) Covid dari Indonesia,” ujar Kurnia melalui siaran langsung di akun Facebook Sahabat ICW, Minggu (17/5).

Alih-alih membahas aturan terkait kesehatan, Kurnia mengatakan, DPR justru membahas sejumlah RUU yang tak relevan. Mulai dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Cipta Kerja, RUU Mahkamah Konstitusi, termasuk RUU Permasyarakatan.

“Ini tidak ada kaitannya sama sekali. Kita sudah memasuki era otoritarian legislasi, ketika pembentuk UU tidak lagi menganggap masyarakat sebagai bagian utama pembentuk peraturan perundang-undangan,” kata Kurnia.

Kurnia juga menyoroti substansi RUU Permasyarakatan terkait pemberian hak rekreasional bagi narapidana. Dalam Pasal 7 huruf c RUU Permasyarakatan menyebutkan bahwa tahanan berhak: mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan kegiatan rekreasional, serta kesempatan mengembangkan potensi.

Kurnia menilai, makna kegiatan rekreasional itu tidak jelas. Sempat dijelaskan kegiatan rekreasional ini merujuk pada hak narapidana untuk pelesir atau berpergian ke pusat perbelanjaan. Namun, belakangan hal itu diklarifikasi oleh pihak DPR bahwa kegiatan rekreasional itu berupa hak untuk mendapatkan hiburan di dalam lapas.

“Jadi ada ketidakjelasan pemaknaan pemberian hak rekreasional,” ucap Kurnia.

Kemudian Kurnia juga menyoroti ketiadaan syarat khusus bagi narapidana yang mendapatkan remisi. Dalam UU yang lama menjelaskan bahwa syarat narapidana untuk memperoleh remisi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Namun dalam rancangan, syarat remisi diatur langsung dalam RUU Permasyarakatan.

“Tidak ada lagi syarat soal justice collaborator untuk ajukan remisi, atau rekomendasi dari penegak hukum seperti KPK, jaksa, atau kepolisian,” jelasnya.

Kurnia menuturkan, keberadaan RUU ini juga semakin menjauhkan efek jera dari pemberantasan korupsi. Padahal dari hasil riset ICW menunjukkan, rata-rata vonis bagi narapidana kasus korupsi selama ini hanya 2 tahun 7 bulan.

RUU Permasyarakatan telah disahkan untuk dibahas Komisi III DPR dalam rapat paripurna pada 2 April lalu. Pembahasan RUU ini dinilai perlu dikebut pembahasannya untuk mengatur penanganan narapidana dalam lembaga permasyarakatan.

Sejak tahun lalu, pembahasan RUU Permasyarakatan telah menuai polemik. Sejumlah pasal mulai dari hak rekreasi hingga ketentuan remisi dinilai semakin mempermudah pembebasan narapidana. **AJS**

Berita Terkini