Seberapa Dalam Dan SeramnyaJurang Resesi Ekonomi???

Bandung – Indonesia diproyeksikan akan bernasib sama dengan kebanyakan negara di dunia yang menderita akibat Covid-19, yakni jatuh ke dalam resesi. Indonesia sudah mengalami kontraksi PDB pada kuartal II-2020 sebesar -5,32%, dan kemungkinan besar kontraksi kembali akan terjadi pada kuartal III-2020.

“Kementerian Keuangan awalnya memperkirakan -1,1% hingga 0,2%. Terbaru, (proyeksi) September memperkirakan -1,7% sampai -0,6%, negative teritory pada kuartal III. Mungkin akan berlanjut pada kuartal IV, tetapi kita usahakan mendekati 0%,” ungkap Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, belum lama ini.

Selama masa pandemi ini, aktivitas masyarakat sangat dibatasi segala aktivitasnya demi meminimalisasi mencegah penyebaran virus Covid-19. Kebijakan ini diterjemahkan dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar yang tertuang dalam PP No 21/2020.

Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa PSBB minimal meliputi, Peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan,
pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Akibatnya mobilitas masyarakat terhambat, padahal mobilitas masyarakat mencerminkan seberapa cepat laju roda perekonomian. Banyak usaha-usaha yang mengandalkan keramaian, dan akan terhenti ketika tidak ada lagi masyarakat yang berkegiatan atau menjadi minimal.

Adakah dampak resesi terhadap keseharian kita?

Tentunya ada, karena resesi adalah hasil, resultansi dari ekonomi yang menciut. Ekonomi bisa menciut karena penurunan aktivitas dunia usaha dan rumah tangga.

Dari sisi dunia usaha, PSBB membuat proses produksi terganggu karena belum semua karyawan bisa pergi ke kantor. Apalagi kalau ada kasus positif, kantor atau pabrik wajib ditutup sementara. Sementara aktivitas masyarakat yang terbatas dan bahkan sebagian masih #dirumahaja membuat penjualan menurun.

Berdasarkan laporan Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha keluaran BPS, dari 34.559 unit usaha yang disurvei nyaris 83% mengaku mengalami penurunan pendapatan.

Sedihnya lagi, Unit Usaha Kecil (UMK) ternyata lebih terpukul ketimbang yang pengusaha besar. Sebanyak 84,2% pelaku UMK mengaku mengalami penurunan pendapatan, sementara di Unit Usaha Besar (UMB) adalah 92,29%.

Ini membuat dunia usaha kelimpungan untuk mempertahankan bisnisnya. Salah satu upaya yang ditempuh agar perusahaan tetap hidup adalah efisiensi dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Sekarang jumlah pengangguran tambah hari tambah naik. Kita punya pengangguran sekarang 7 juta existing, angkatan kerja 2,5 juta, dan sekarang korban PHK ada 7 juta. Jadi sekarang ada 16,5 juta,” ungkap Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), awal bulan ini.

Di tengah ancaman tsunami PHK, rumah tangga memilih untuk meningkatkan tabungan untuk jaga-jaga menghadapi situasi terburuk. Konsumsi pun dikurangi, yang kemudian semakin menurunkan permintaan yang sudah rendah.

Bank Indonesia mencatat, pada Agustus 2020 konsumen mengalokasikan 20,42% pendapatan mereka untuk ditabung. Angka ini menjadi yang tertinggi sejak Desember 2018.

Dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, seperti resesi, masyarakat tentu berpandangan bahwa langkah terbaik adalah menabung. Ya itu tadi, Selamatkan Diri Masing-masing (SDM), harus berjaga-jaga kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti PHK.

Namun kalau uang masyarakat terkumpul di bank, maka tinggal sedikit yang tersisa untuk berputar di sektor riil. Pada akhirnya peningkatan jumlah tabungan menciptakan paradoks, yaitu membuat resesi menjadi semakin dalam. Semakin banyak pengusaha yang tumbang, semakin banyak pekerja yang menjadi korban PHK.

Berita Terkini