Kupang (NTT) – Kondisi masyarakat adat Besipae, kecamatan Amnuban Selatan, kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi NTT sangat memprihatinkan. Terjadi penggusuran rumah-rumah warga, terdapat sekitar 38 rumah yang dibongkar paksa, akibat pembongkaran rumah warga tersebut masyarakat adat Besipae harus hidup dibawah pohon yang beratapkan langit bersama anak-anaknya.
Pantauan media ini pada Jumat, (14/8/2020) di Besipae terdapat sekitar 38 rumah yang dibongkar. Ibu-ibu sambil menggendong anak hidup, masak dan tidur dibawah pohon.
Salah satu masyarakat adat Besipae Ester Selan saat ditemui media ini dilokasi Besipae menjelaskan, “kalau pemerintah bongkar rumah kami seperti ini dan mengambil lahan ini, kami mau hidup dimana? Ini tanah leluhur kami yang diperoleh sebelum Indonesia merdeka, lahan disini ulayat kami, ada belukar, pekarangan dan rumah kami. Kami diperlakukan dengan tidak adil oleh Pemerintah Propinsi NTT”, jelas Ester.
Kuasa Hukum masyarakat adat Besipae Husni Kusuma Dinata, SH, MH dari LKBH Fakultas Hukum Undana Kupang saat ditemui di Besipae Jum’at (14/8/2020) menjelaskan “Kami hadir membela masyarakat adat Besipae yang diperlakukan dengan tidak adil, mereka orang-orang kecil, tidak memiliki akses apa-apa. Kami melihat ada hal-hal yang terjadi dilapangan berada diluar hukum.
Kondisi masyarakat adat Besipae sangat memprihatinkan, kami lihat dan saksikan sendiri dilokasi. Penegakkan hukum tanpa memperhatikan hak asasi manusia itu tidak adil. Tujuan pemerintah adalah mensejahterakan masyarakat, kalau diperlakukan seperti ini bukan mensejahterakan masyarakat tapi sebaliknya, membuat masyarakat semakin susah”, jelas Husni.
Minta Penjelasan Polri
Nurhayati Kasman, SH dari Firma Hukum Akhmad Bumi & Parteners (ABP) kepada media ini menjelaskan, “kami bersurat minta penjelasan Polri terkait penculikan dua warga Besipae yakni Anton Tanu (18) yang diambil pada Senin, 10 Agustus 2020 dan Cornelius Nomley (64) pada Jumat, 14 Agustus 2020 pukul 8 pagi. Kami sebut penculikan karena tidak ada surat perintah penangkapan dan tidak ada surat pemberitahuan kepada keluarga mereka sesuai perintah Pasal 18 KUHAP.
Polri tidak boleh menegakkan hukum dengan tata cara yang melanggar hukum. Kami selaku kuasa hukum melayangkan surat protes dan minta penjelasan secara institusi Polri, surat protes tersebut kami berikan dengan tembusan kepada pak Presiden dan Lembaga Tinggi Negara terkait.
Keluarga korban tidak tahu korban yang diculik tersebut sekarang berada dimana. Ini melanggar hukum, warga adat seperti hidup dizaman penjajah.
Nurhayati Kasman, SH yang juga alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini menyesalkan tindakan pemerintah Propinsi NTT melalui Polisi Pamong Praja yang membongkar dan menggusur rumah warga Besipae, Timor Tengah Selatan. Tata cara yang digunakan itu melanggar hukum. Jika memandang tanah itu milik Pemerintah ya gugat ke Pengadilan, keputusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap silahkan dieksekusi. Tapi inikan tidak.
Yang digusur dan dibongkar itu rumah yang dibangun oleh warga, dengan biaya sendiri lalu dirusak seperti itu. Yang kami data sekitar 38 rumah sudah rata dengan tanah, ibu-ibu menangis isak tangis meratapi pembongkaran itu, tapi rumah yang dibongkar belum selesai didata.
Itu perbuatan pidana, tidak dibenarkan menurut hukum jika main hakim sendiri seperti itu. Soal pembongkaran paksa rumah warga tersebut kami tempuh jalur pidana, kami laporkan pidana. Semua orang sama didepan hukum”, tegas Nurhayati.
Asal tahu, Konflik lahan Besipae bermula dari pelaksanaan proyek percontohan intensifikasi peternakan yang merupakan kerja sama Pemprov NTT dengan pemerintah Australia pada tahun 1982-1987.
Kerjasama tersebut berbasis kesepakatan yang ditandatangani oleh tua-tua adat masyarakat Pubabu di desa Mio pada tanggal 13 April 1982.
Pasca kerja sama tersebut, pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan menggunakan lahan tersebut sebagai kawasan budidaya untuk tanaman komoditas dengan skema HGU melalui gerakan nasional rehabilitasi hutan (Gerhan) hingga 2008 tanpa melibatkan masyarakat adat.
Hingga pada tahun 1995, Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan mengeluarkan register tanah kehutanan (NTK) nomor 29 yang ditandatangani oleh Gubernur NTT dan termuat dalam berita acara tata batas Negara, yang memasukan kawasan hutan Pupabu-Besipae masuk pada kawasan hutan Negara (fungsi hutan lindung) seluas 2900 Ha.
Pada tahun 2008 hendak dilakukan perpanjangan HGU tapi mendapat penolakan dari masyarakat adat.
Pada tahun 2011, masyarakat adat Pupabu yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan propinsi NTT di instalasi Besipae dengan nomor surat: 03/ITAPKK/II/2011.
Hingga pada tahun 2013 diterbitkan sertifikat hak pakai sebagai dasar atas kepemilikan hutan adat Pupabu oleh Pemerintah. Hal inilah memicu konflik semakin memanas karena pada tahun 2011 masyarakat adat melalui ITAPKK telah mengirimkan surat pembatalan perpanjangan kontrak dengan Dinas Peternakan Propinsi NTT.(*/Red)