Kota Bandung, – Hingga saat ini, Politik uang masih sulit diberantas. Baru-baru ini, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang telah terselenggara dengan sukses di tengah pandemi Covid-19 masih menyisakan temuan-temuan praktik politik uang. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 37 kasus dugaan pelanggaran politik uang yang tersebar di 26 kabupaten – kota di seluruh Indonesia.
Ibarat gunung es. Diberbagai wilayah di indonesia, mulai dari tingkat Desa, Kota, Kabupaten hingga tingkat Provinsi. Salah satu contoh yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah, berdasarkan data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah, yang sempat menelusuri dugaan politik uang. Sedikitnya terdapat empat daerah yang ditelusuri Bawaslu ada indikasi ternoda politik uang. Sebagaimana halnya fenomena gunung es, temuan dan dugaan itu dipastikan belum mencerminkan kondisi senyatanya. Sangat mungkin, praktik yang terjadi jauh melebihi yang ditemukan. Tidak menutup kemungkinan hal ini banyak terjadi juga diwilayah provinsi Jawa Barat.
Karena itu, temuan-temuan sekecil apapun patut dicermati dengan sungguh-sungguh. Praktik politik uang bukan suatu hal yang mudah ditemukan. Pelaku atau pemberi uang dan pihak penerima melakukan itu secara terselubung. Praktik politik uang telah menodai demokrasi sejak lama dan hingga saat ini sangat mempengaruhi berbagai bidang kehidupan. Bahkan, merusak moral dan tatanan hidup generasi penerus bangsa.
Sulit dimengerti, praktik itu terus terjadi hingga sekarang ini. Demokrasi yang ternoda bukan keinginan siapa pun. Penyelenggaraan Pilkada 2020 sangat layak diapresiasi. Di tengah pandemi dan kecemasan warga yang pasti memengaruhi minat warga untuk datang memberikan suara, upaya keras berbagai pihak, termasuk penyelenggara pemilu, pemerintah, dan tentu segenap lapisan warga, patut mendapat acungan jempol. Secara keseluruhan, partisipasi pemilih tergolong tinggi. Menjadi pekerjaan besar ke depan dan tanggung jawab semua pihak untuk menuntaskan persoalan politik uang.
Walaupun banyak ditemukan diberbagai daerah, banyak masyarakat yang memilih Golput. Hal itu terjadi karena sudah banyaknya masyarakat yang sulit mempercayai setiap calon Kepala Daerah, karena banyak sekali kejadian yang memperlihatkan kepada masyarakat, bahwa Kepala Daerah yang terpilih dan sudah menjabat mengecewakan, tidak menepati janji, tidak peduli lagi pada hati nurani, hingga korupsi dan dan ujungnya menjadi napi.
Sudah barang tentu, Partai politik termasuk yang paling bertanggung jawab terkait politik uang. Ibarat sebuah sungai, partai politik adalah mata air yang menentukan kualitas air sungai. Partai politik juga berperan sangat besar dalam pendidikan politik untuk membenahi serta mewujudkan antipolitik uang.
Secara realistis, celah untuk praktik politik uang selalu terbuka. Maka, pendidikan politik masyarakat tetap merupakan elemen yang penting dan vital untuk membangun kesadaran kolektif bahwa politik uang berisiko menodai demokrasi. Ketika proses demokrasi ternoda, para Pemimpin Terpilih sebetulnya terlahir dengan “dosa moral”, akibat praktik politik uang dan terkadang menghalalkan berbagai cara agar menjadi pemenang, atau dengan melakukan berbagai banyak hal kebohongan.
Maka dari itu, bisa dikatakan sangat penting bahwa, karakter antipolitik uang harus dibentuk sejak dini. Selain itu, hal tersebut menjadi pr para tokoh agama agar terus menanamkan serta mencontohkan hal positif mengenai politik.
**Agus Jaya Sudrajat, (Ketua Ormas Laskar Banten DPC Kota Bandung, – Pimpinan Redaksi Media Times Jurnalis Indonesia, – Ketua Umum Forum Jurnalis Nusantara, – Wakil Ketua Umum Forum Media Indonesia Bersatu)**