Jakarta, BKP – Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan polemik penunjukan anggota TNI/Polri sebagai penjabat (Pj) kepala daerah belakangan terjadi karena pertimbangan hukum dalam putusan MK tidak dianggap mengikat.
Putusan yang dimaksud adalah Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021 yang dalam pertimbangannya memuat ketentuan penjabat pengganti kepala daerah.
“Ketika itu dilaksanakan dan pertimbangan hukum itu dianggap tidak mengikat, pertimbangan hukum itu kemudian diabaikan, dan saya bukan kali ini saja, maka timbulah polemik,” kata Fajar dalam diskusi yang digelar Public Virtue Research Institute, Rabu (25/5).
Fajar mengatakan terdapat pemahaman yang memandang saat amar putusan MK menyatakan menolak permohonan pemohon, maka tidak terdapat implikasi apapun terhadap norma yang digugat. Hal ini kemudian dijadikan sebagai pedoman.
Pada saat yang bersamaan, terdapat pemahaman yang mengatakan amar putusan itu mengikat sementara pertimbangan hukum tidak bersifat mengikat. Fajar menilai pemahaman tersebut kurang tepat. Akibatnya, ketika dipraktikkan terjadi polemik.
“Paling tidak menjadi sumber dari polemik, sumber persoalan,” kata Fajar.
Fajar menegaskan secara teoritik, akademik, dan praktik pertimbangan hukum dalam putusan MK bersifat mengikat. Menurutnya, argumentasi teoritik bahwa MK merupakan result interpreter of the constitution harus dipahami.
“MK itu adalah lembaga negara yang satu-satunya diberikan kewenangan untuk memberikan tafsir konstitusional mengikat,” tegas Fajar.
Ia mencontohkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 hanya disebutkan MK menguji UUD. Namun, lembaga hukum tertinggi itu kemudian menafsirkan bahwa MK juga harus bisa menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Sebab, kata Fajar, meskipun Perppu merupakan Peraturan Pemerintah (PP), namun berisi undang-Undang.
“Dalam satu undang-undang ada potensi, ada kemungkinan pelanggaran hak konstitusional warga negara, walaupun diberlakukan dalam jangka waktu yang terbatas,” tutur Fajar.
Sementara itu, pihak yang berwenang mengambil tanggung jawab dalam persoalan pelanggaran hak konstitusional warga negara adalah MK.
“Kalau Perppu itu ada pelanggaran hak konstitusional warga negara lalu siapa kalau bukan MK (yang berwenang)?” kata Fajar.
Lebih lanjut, kata Fajar, dalam polemik penunjukan Pj kepala daerah, MK telah memberikan pertimbangan hukum yang jelas.
MK Merujuk pada UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengatur tentang pertimbangan tentang Pj kepala daerah. Salah satu ketentuan itu adalah TNI/Polri bisa menduduki jabatan sipil jika sudah pensiun atau undur diri.
“Itu semuanya sudah dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan MK,” jelas Fajar.
Pj Kepala Daerah Tak Sah Jika Tak Patuh Putusan MK, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Feri Amsari mengingatkan penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian bisa dinyatakan tidak sah jika mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Feri mengatakan tindakan Tito bisa dinilai melanggar Pasal 17, 18, dan 19 Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan.
Mantan Kapolri itu bisa dinilai melampaui otoritas hingga bertindak sewenang-wenang.
“Kalau proses penunjukan penjabat kepala daerah itu bertentangan dengan putusan MK, bertentangan dengan saran-saran dalam pertimbangan MK, maka bisa saja itu akan berkonsekuensi Pasal 17, 18, 19 di Undang-Undang (UU) Administrasi Pemerintahan,” kata Feri dalam diskusi virtual, Rabu (25/5).
Feri menjelaskan kebijakan dan tindakan pejabat tata usaha negara yang dinyatakan sewenang-wenang bisa dinyatakan tidak sah.
Dalam penelusuran awak media, penetapan tidak sah ini diatur dalam Pasal 19 UU tersebut dengan catatan jika telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Tindakan pejabat tata usaha negara atau badan tata usaha negara berkonsekuensi dikatakan sebagai tindakan sewenang-wenang, yang ujungnya harus dinyatakan kebijakan dan atau tindakan yang tidak sah,” ujar Feri.
Sebagai informasi, Feri menilai tindakan Tito menunjuk Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tengah, Brigjen Andi Chandra As’adudin sebagai Penjabat (Pj) Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat mengingkari putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021.
Pertimbangan dalam putusan itu mengatur mengenai penunjukan penjabat kepala daerah. Sedangkan Andi merupakan prajurit TNI aktif. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004).
Menurut Feri, dalam putusan itu setidaknya MK menekankan tiga hal yakni, penunjukan penjabat daerah harus mempertimbangkan keterbukaan dan transparansi.
Kemudian, jika masa jabatan yang tersisa hingga Pilkada selanjutnya 18 bulan atau satu setengah tahun, penjabat kepala daerah bisa ditunjuk melalui Mendagri.
“Kalau lebih dari 18 bulan maka dilakukan pemilihan di DPRD,” ujar Feri.
Ketiga, penunjukan penjabat kepala daerah harus betul-betul mampu menampung aspirasi pemerintah daerah.
Menurut Feri, Tito harus benar-benar mempertimbangkan azas kehati-hatian.
MK, kata dia, telah memberi pertimbangan agar Tito membuat peraturan terkait penunjukan pejabat ini.
“Kalau menterinya hati-hati pasti dibentuk itu peraturan-peraturan. Sekarang tidak dibentuk,” kata Feri.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, mengungkapkan bahwa penunjukan Kepala BIN jadi Pj Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku merupakan sebuah awal panggung.
Sebab, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 15/PUU-XX/2022, bahwa TNI/Polri harus ditentukan terlebih dahulu dari dinas terlebih dahulu untuk mengisi jabatan Pimpinan Tinggi sebelum menduduki Pj Kepala Daerah.
“Pendapat yang menyatakan bahwa TNI/Polri aktif dapat menduduki jabatan Pj Kepala Daerah sepanjang telah diberi Jabatan pimpinan tinggi adalah keliru,” kata Ismail dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/5).
Ismail mengatakan bahwa penunjukan Pj Kepala Daerah bertentangan dengan UU TNI. Pasalnya, jabatan tersebut tidak termasuk ke dalam jabatan sipil yang dikecualikan sebagaimana diatur pada Pasal 47 ayat (2) UU TNI.
“Ketentuan yang berlaku harusnya Pasal 47 ayat (1), bahwa prajurit tersebut undur diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,” katanya.
Menurutnya, penunjukan TNI aktif sebagai Pj. Kepala Daerah kembali memperpanjang kebijakan-kebijakan penempatan TNI aktif pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ismail menambahkan, kebijakan tersebut mencitrakan keengganan pemerintah dalam melaksanakan reformasi TNI/Polri, serta melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan.
“Presiden Jokowi perlu segera untuk meluncurkan pelbagai kebijakan para Menteri tersebut, menjaga dan memastikan profesionalitas dan agenda reformasi TNI/Polri untuk tetap berada pada relnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ismail menyebut, pemerintahan sipil harus memastikan profesionalitas TNI/Polri dengan tidak memberikan jabatan-jabatan sipil tertentu di luar ketentuan UU TNI.
Pengajar Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu berujar, reformasi TNI dan Polri harus berjalan dua arah atau timbal balik.
“TNI-Polri fokus melakukan reformasi, sementara presiden/DPR/politisi, sipil wajib menjaga proses reformasi itu berjalan sesuai mandat Konstitusi dan peraturan perundang-undangan” ujarnya. ***