Jawa Barat, TJI – Berbicara mengenai PANDEMI Covid-19, bukan hanya berdampak pada sektor kesehatan saja. Namun, dampaknya juga terasa di sektor ekonomi, pendidikan, agama, sosial dan keamanan.
Setelah Pemerintah menerapkan Social Distancing , telah mengubah banyak hal di masyarakat, khususnya di sektor ekonomi. Akibatnya terjadi PHK dimana-mana, perusahaan banyak yang bangkrut dan ujungnya rakyat kebingungan, sulit mencari penghasilan karena kehidupan ekonomi mereka yang rumit dan terbatasnya ruang gerak masyarakat.
Bantuan sosial berupa uang dan sembako dijanjikan oleh Pemerintah Jawabarat pada pertengahan bulan April kepada masyarakat yang terdampak Covid-19, masyarakat pun sedikit terhibur karena mendapat kabar baik tersebut.
Hasilnya, sampai saat ini janji hanya tetap janji sulit direalisasi pada tatanan teknisnya, karena sampai hari ini banyak warga yg belum mendapatkan bantuan. Akhirnya masyarakat hanya bisa berharap tanpa mendapatkan kepastian untuk mendapatkan bantuan ini.
Bahkan, masalah baru muncul dihadapan kita, banyak terjadi penolakan dari berbagai kalangan masyarakat yang menerima bansos tersebut. Karena banyak terjadi tumpang tindih antara data penerima bantuan, data penerima Bantuan Gubernur bercampur dengan data Program Keluarga Harapan (PKH). Jelas, dengan adanya tumpang tindih data ini menimbulkan kecemburuan sosial, alhasil terjadi penolakan dari banyak kalangan masyarakat.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun sudah ditetapkan sejak 22 April 2020. Semestinya Pemrov, Pemkot dan Pemkab diwilayah jabar bergerak sepenuh hati dan lebih serius untuk mengimbangi laju penyebaran wabah Covid-19, sebelum muncul masalah sosial lainnya. Harus dipastikan bantuan tepat sasaran pada masyarakat yang membutuhkan.
Dengan dana yang dikucurkan sebesar Rp. 5 Triliun oleh pemprov jabar, dan akan diberikan kepada masyarakat Jawa Barat, baik masyarakat yang ada dikota maupun kabupaten. Bantuan tersebut akan diberikan kepada keluarga rawan miskin yang terkena dampak pendemi sebesar Rp. 500 ribu, yakni, berupa bahan pangan sebesar Rp. 350 ribu dan Rp.150 ribu berupa uang tunai, dan akan diberikan selama 2 bulan hingga maksimal 4 bulan.
Kenyataannya, sangat disayangkan, banyak terjadi ketimpangan data. Salah satu contohnya terjadi di kabupaten Karawang, ada yang satu desa terdapat 600 an kepala keluarga mendapatkan bansos, tapi di desa lain hanya 80 kepala keluarga, padahal tingkat ekonomi masyarakat cenderung sama. Belum lagi yang terjadi di kabupaten Majalengka, Kota Bandung dan wilayah lainnya.
Selain itu ditemukan juga beberapa nama penerima bantuan yang ternyata telah meninggal sejak 2016 silam. Bahkan ada penerima yang menerima bantuan dari tiga program sekaligus, yakni dari BNPT ( Bantuan Pangan Non Tunai ), PKH (Program Keluarga Harapan) dan Bangub (bantuan gebernur).
Bantuan dari pemerintah yang setengah hati tergambar dari buruknya pengumpulan data yang mengakibatkan bantuan tidak tepat sasaran selain itu nominal dan jumlah penerimanya pun angkanya terbilang minim, hanya 500 ribu per KK per bulan. Bagi para pekerja informal yang terdampak, tentu biaya tersebut tidak akan cukup. Seharusnya pemerintah memberikan dana dengan menghitung data real. Tiap RT dibuat data terlebih dahulu, siapa saja yang membutuhkan bantuan dan jumlah kebutuhannya berapa, karena tiap keluarga akan berbeda kebutuhannya.
Jangan biarkan masyarakat yang benar-benar membutuhkan lebih menderita dan hanya mendapatkan ketidakpastian akibat kelalaian dan kesalahan yang dianggap sepele yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri.
Semoga Sang Maha Bijak dan Maha Penentu senantiasa memberikan kekuatan, meringan serta memberikan kemudahan, keberkahan yang berlimpah dalam menjalani setiap permasalahan yang kita hadapi saat ini dan dikehidupan yang akan datang. Aamiin Yaa Rabb.
Biiznillah Wal Barakallah.
**Agus Jaya Sudrajat (Ketua Forum Jurnalis Nusantara Dan Penasehat Laskar Banten Bandung Raya)**