Bandung, TJI – Sampah masih menjadi masalah pelik di Indonesia. Setiap hari produksi sampah di Indonesia mencapai 175 ton. Tak salah jika Indonesia pun menjadi lumbung penghasil sampah terbesar di dunia. Namun, di tangan penggerak alumni BLK Lembang, sampah justru bisa
menjadi peluang ekonomi. Dan berdampak pada kebersihan lingkungan.
Ibu Lilis Sukaesih, warga Sumedang, risih saat melihat lingkungannya kotor karena sampah. Gundukan sampah liar terlihat mengotori sepanjang jalan utama di Desa Bugel, Sumedang. Tak sedikit, warga juga menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.
Tak ingin desanya semakin kotor ia pun berinisiatif menggerakan warga desa mengolah berbagai sampah. Tujuannya, agar lingkungan desa semakin bersih dan sehat.
“Saya ajak warga juga di pengajian untuk mengolah sampah,” ingatnya.
Namun, usahanya tak langsung disambut positif. Tak sedikit warga juga
menyepelekan ajakan ini. Membangun kesadaran warga untuk mengolah
sampah memang tak mudah. Terlebih bagi warga yang memandang sampah tak mendatangkan manfaat.
Lilis Sukaesih tak berkecil hati dan tetap menjaga semangat. Ia yakin usahanya akan berbuah hasil. Ia percaya dengan mengolah sampah akan mendatangkan banyak manfaat.
Baik bagi lingkungan, kesehatan, tapi juga nilai ekonomi. Beruntung, usahanya itu mendapatkan dukungan dari BLK Lembang. Melalui pendampingan ia mendirikan Bank Sampah Maslahat dirumahnya sejak 2019.
Adalah Adeng Sujana dan Anih Suryani, alumni BLK Lembang, merangkul
mendampingi sosok seperti Lilis Sukaesih. Keberadaan Lilis Sukaesih menjadi mata rantai penting dalam mendirikan bank sampah dimasyarakat. Lilis Sukaesih bisa menjadi sosok penggerak sekaligus ujung
tombak keberhasilan dalam pengolahan sampah.
Adeng Sujana bersama Anih Suryani, mendapatkan pelatihan dari BLK Lembang tentang manajemen mengolah sampah. Selama pelatihan, ia belajar banyak membangun sistem Bank Sampah.
Mulai pemilahan sampah sejak rumah tangga, koordinasi pengumpulan sampah, pencatatan, penjualan ke induk sampah hingga manajemen keuangan.
“Di daerah sampah masih dianggap sebagai barang tidak berguna,” katanya.
Pasca pelatihan, alumni BLK ini pun mendirikan lembaga Kencana Sakti Pradana sebagai ruang pembelajaran bank sampah bagi masyarakat di wilayah Sumedang dan Majalengka. Keberadaan lembaga ini menjadi motor penggerak sekaligus pendampingan warga untuk belajar membangun bank sampah.
“Kita survei ke lapak-lapak dan melihat ada potensi besar dalam pengolahan sampah. Terlebih rencana pembangunan Sumedang dan Majalengka ke depannya,” kata Adeng.
Tak hanya merangkul warga seperti sosok Lilis Sukaesih. Alumni BLK Lembang ini pun ikut merangkul para pengepul sampah. Selama ini mereka hanya fokus pada barang-barang tertentu saja. Seperti mengumpulkan plastik, botol, logam, maupun barang tembaga yang
layak jual. Sementara barang lain seperti kresek, bungkus kopi hingga minyak jelantah tak mereka ambil.
“Setelah tahu ada nilai ekonominya mereka juga ikut menyetor ke bank
sampah,” kata Adeng.
Bank sampah memang menerima segala bentuk aneka sampah. Termasuk sampah jenis organik untuk dijadikan pupuk kompos maupun magot sebagai pakan protein peternakan.
Selain itu, harga pembelian sampah anorganik di bank sampah juga relatif
stabil.
“Bagi nasabah ini menguntungkan,” katanya.
Menurut Peraturan Menteri LH No.13 Tahun 2012, bank sampah adalah tempat pemilahan dan pengumpulan sampah yang dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang yang memiliki nilai ekonomi.
Menurut Adeng, mengelola bank sampah punya tantangan tersendiri.
Manajemen bisnisnya pun berbeda dengan bisnis perusahaan pada
umumnya. Lebih tepatnya, mengelola bank sampah lebih mengedepankan aspek sosial ketimbang murni bisnis.
“Bank sampah termasuk kategori bisnis wirausaha sosial. Di mana usaha
ini menekankan aspek manfaat bagi lingkungan dan masyarakat,” katanya.
Namun, bukan berarti bank sampah tak boleh mencari keuntungan. Dengan manajemen yang tepat, tak sedikit keberadaan bank sampah justru menjadi bisnis yang menggiurkan.
Adeng dan Anih kini mendampingi unit bank sampah seperti yang dikelola
oleh Lilis Sukaesih lewat Bank Sampah Maslahat di Sumedang. Lewat bank
sampah ini kesadaraan warga pun semakin tumbuh. Terlebih mereka telah mendapatkan manfaat langsung. Mulai dari uang hingga emas yang tercatat dalam buku nasabah.
“Masyarakat akhirnya percaya bahwa dari sampah ternyata ada nilainya,” kata
Anih Suryani semangat. Tak hanya ibu-ibu rumah tangga, anak-anak hingga manula pun giat mengumpulkan sampah dari rumah, jalan, hingga warung makan.
“Kalau sudah kumpul ramai sekali. Warga semangat membawa sampahnya,” kata Lilis Sukaesih.
Saat ini dirinya menampung nasabah sebanyak 200 orang dengan omset tabungan mencapai 5 juta untuk wilayah Desa Bugel, Sumedang.
Khusus Majalengka, menurut Anih Suryani, mereka berjejaring dan kerja
sama dengan kantor pemerintahan, sekolah, perkantoran, hingga pertokoan. Dari catatannya sampah-sampah ini bisa terkumpul hingga 2 ton dalam waktu dua minggu.
“Ini rekor paling besar. Tapi sampah memang ada pasang surutnya. Kadang
naik kadang turun. Tapi sepanjang hari selalu ada sampah,” ungkapnya.
“Ke depan kita akan upgrading keberadaan organisasi ini. Baik dari sisi
badan hukum dan manajemennya. Kita akan rembug lagi dengan BLK Lembang,” kata Adeng menambahkan.
Adeng juga terus melaporkan kegiatan dilapangan kepada Dinas Lingkungan Hidup. Laporan perkembangan lapangan ini menjadi evaluasi dengan pemerintah agar selaras dengan program lingkungan.
“Pemerintah juga bantu kita mengakses ke induk pengolahan sampah,”
papar Adeng.
Induk pengolahan sampah adalah perusahaan swasta yang bergerak
dipeleburan plastik. Plastik-plastik hasil dari bank sampah ini kemudian diolah menjadi bahan biji plastik.
Menurut Adeng, untuk mengakses ke induk perlu dukungan dari pemerintah. Selain menambah jejaring bank sampah, mereka juga mendapatkan akses informasi harga plastik di pasaran.
“Ini yang paling penting. Kita akhirnya tahu harga di hilir itu berapa,” jelas Adeng.
Akses dan informasi harga jual plastik sangat penting dalam mata rantai bisnis sampah. Selama ini akses dan informasi harga plastik masih tertutup. Tak salah jika harga sampah anorganik di masyarakat terbilang murah.
“Dari induk pembelian dengan dolar. Sementara di masyarakat dengan rupiah,” jelas Adeng.
Kondisi ini pun akhirnya berdampak pada kesejahteraan para pengepul sampah. Ke depan, mereka berencana mendirikan wadah koperasi agar
manajemen pengelolan bank sampah semakin terpadu dan profesional. Dengan begitu, kehadiran bank sampah pun memberikan manfaat bagi anggotanya.
Terlebih bagi lingkungan diwilayah Sumedang dan Majalengka. Melalui bank sampah warga pun semakin sejahtera.
Data Sampah Voleume
Timbunan Sampah 35 Juta Ton/Tahun
Sampah Terkelola 158 %
Pengurangan Sampah 16 %
Penanganan Sampah 142 %
Sampah Tidak Terkelola -58 %
Data Bank Sampah
Item Keterangan
Bank Sampah 11.532
Nasabah 376.395
Volume Sampah Terkelola 96 % per bulan
Omset 952 juta per bulan