Bandung, TJI – Jika Penegakan hukum berjalan secara efektif, maka akan membawa perubahan sosial sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat hukum.
Berbicara masalah penegakan hukum, tidak dapat dilepaskan dari pengertian tentang sistem hukum itu sendiri. Dimana di dalamnya selalu tercakup tiga komponen yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain, yaitu ; komponen struktur, substansi, dan kultur. Sehingga dalam rangka menegakkan hukum secara maksimal haruslah selalu diperhatikan ketiga komponen yang ada.
Sedangkan pengertian penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran Badan Pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.
Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dalam prakteknya, maka proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya yaitu para Pejabat Penegak Hukum itu sendiri.
Ada beberapa faktor yang menentukan proses penegakan hukum dapat berjalan efektif atau tidak, yaitu:
1. Harapan-harapan masyarakat ; yaitu, apakah penegakan hukum tersebut sesuai atau tidak dengan nilai-nilai masyarakatnya?
2. Adanya motivasi dari warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum tersebut;
3. Kemampuan dan kewibawaan organ-organ penegak hukum (APH).
Penegakan hukum yang berjalan secara efektif akan membawa perubahan sosial, sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat hukum. Namun dalam kenyataannya, perubahan sosial yang diharapkan oleh pembuat hukum tetap tidak dapat tercapai.
Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berlangsungnya perubahan sosial, yaitu faktor yang mendorong dan faktor yang menghambat.
Faktor yang mendorong, misalnya terjadinya kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan yang maju, toleransi terhadap perilaku yang menyimpang, stratifikasi yang terbuka, penduduk yang heterogen, dan ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
Sedangkan faktor yang menghambat, misalnya kurangnya atau tidak adanya hubungan dengan masyarakat lain, perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat, sikap masyarakat yang terlalu tradisionalistis, adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali, rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal yang baru, hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, dan mungkin juga adat istiadat yang telah melembaga dengan kuat.
Penegakan hukum (law enforcment) merupakan permasalahan hampir di setiap negara, khususnya bagi negara-negara berkembang. Di Indonesia sendiri, permasalahan hukum sangat banyak dan beragam, baik kualifikasinya maupun modus operandinya.
Apabila dicermati, maka banyak sekali ditemukan hal-hal yang perlu dibenahi terkait dengan penegakan hukum di Indonesia. Sebagaimana potret di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan hukum di Indonesia adalah permasalahan yang bersifat sistemik. Oleh sebab itu, pembenahannya pun juga harus dilaksanakan secara sistemik.
Menurut Lawrence Meir Friedman, sistem hukum mencakup tiga aspek, yaitu: aspek struktural, substansial dan kultural.
Agar supremasi hukum dapat terwujud, tentunya ketiga subsistem tersebut harus berjalan baik secara simultan. Sebagaimana dikatakan oleh Lawrence Friedman, bahwa hukum itu tidak layak hanya dibicarakan dari segi struktur dan substansinya saja, melainkan juga dari segi kulturnya, yaitu:
1. Struktur hukum adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuatan hukum dan lain-lainnya, serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan.
2. Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum.
3. Sedangkan kultur hukum adalah kesadaran hukum dan budaya hukum masyarakat.
Dari ketiga komponen tersebut, yang utama bagi Friedman adalah komponen kultur hukum, karena komponen inilah yang menjadi dasar sosiologis yang memberikan kualifikasi terhadap kedua komponen lainnya, yaitu struktur dan substansi.
Pendekatan ”Sistem” dalam Sistem Peradilan Pidana
Secara normatif, peradilan pidana di Indonesia merupakan suatu “Sistem”, yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana”, tetapi kalau dilihat dari gambaran mengenai fungsi dan tugas serta tujuan dari masing-masing sub-sistem sebagaimana telah diuraikan diatas, tampaknya peradilan pidana kita sebagai suatu sistem yang masih belum memadai.
Hal ini terlihat dari masing-masing sub-sistem tersebut yang mempunyai tujuan berbeda-beda dalam kerangka penegakan hukum, dan kita sering kali menemukan didalam praktek antara sub-sistem tersebut kurang ada kerjasama yang baik, masing-masing dari mereka seolah-olah berjalan sendiri-sendiri.
Seperti ; Kepolisian bertugas melakukan penyidikan, Kejaksaan melakukan penuntutan, Pengadilan memeriksa dan memutus, Lembaga Pemasyarakatan (LP) bertugas melakukan pembinaan dan rehabilitasi, sedangkan Advokat bertugas bagaimana caranya membela kliennya. Padahal kalau kita cermati, sebenarnya sistem memiliki ciri yang sangat luas dan bervariasi.
Menurut Elias M Award dalam Otje Salman dan Anton F. Susanto, menjelaskan sebagai berikut :
1. Sistem itu bersifat terbuka, atau pada umumnya bersifat terbuka. Suatu sistem dikatakan terbuka jika berinteraksi dengan lingkungannya. Dan sebaliknya, dikatakan tertutup jika mengisolasikan diri dari pengaruh apapun;
2. Sistem terdiri dari dua atau lebih sub sistem dan setiap sub sistem terdiri lagi dari sub sistem lebih kecil dan begitu seterusnya;
3. Sub sistem itu saling bergantung satu sama lain dan saling memerlukan;
4. Sistem mempunyai kemampuan untuk mengatur diri sendiri (self regulation);
5. Sistem mempunyai tujuan dan sasaran.
Dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana seharusnya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sistem, yaitu pendekatan yang mempergunakan segenap unsur yang terlibat didalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi) serta saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Dalam konteks penegakan hukum yang mempergunakan pendekatan sistem, terdapat hubungan pengaruh timbal balik yang signifikan antara perkembangan kejahatan yang kini bersifat multi-dimensi dan kebijakan Kriminal yang telah dilaksanakan oleh Aparatur Penegak Hukum (APH).
Penegakan hukum yang baik akan terjadi apabila sistem peradilan pidana bekerja secara obyektif dan tidak bersifat memihak, serta memperhatikan secara seksama nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut tampak dalam wujud reaksi masyarakat terhadap setiap kebijakan Kriminal yang telah dilaksanakan oleh Aparatur Penegak Hukum.
Kalau kita cermati, pelaksanaan peradilan pidana kita dalam praktek, hubungan timbal balik dan saling tergantung antara sub-sistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sangatlah sulit terjadi.
Kemudian, jika dikaitkan dengan KUHAP yang selama ini dijadikan pedoman dalam melaksanakan peradilan pidana di Indonesia, maka sebenarnya di dalam praktek hukum peradilan pidana, kita lebih mendekati kepada suatu proses, yang dilaksanakan melalui tahapan-tahapan tertentu, yaitu:
1. Tahap Penyelidikan;
2. Tahap Penyidikan;
3. Tahap Penuntutan;
4. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan;
5. Upaya hukum biasa dan luar biasa;
6. Pelaksanaan Putusan.
Penulis : Agus Jaya Sudrajat (Pemimpin Redaksi)