Saat FGD LBP2, Dedi Kadisdik Jabar : “Setelah Pergubnya Ada, Sekolah Boleh Terima Sumbangan”

Kota Bandung, BKP  – Suasana cukup hangat dan interaktif kala  Focus Grup Discussion  (FGD), mengenai tidak bolehnya membungkam sumbangan dari orangtua siswa yang diusung oleh Lembaga Bantuan Pemantau Pendidikan (LBP2) Jawa Barat (Jabar), berlangsung di Ballroom Hotel Preanger, Kota Bandung, Selasa (12/7/2022).

Hal tersebut tidak lain untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yakni perbuatan melanggar hukum atau pungutan liar (pungli) oleh satuan pendidikan maupun Dinas Pendidikan (Disdik).

Di samping itu juga untuk melindungi kepala sekolah agar tidak menjadi korban atau sebaliknya, bila ada orangtua siswa di satuan pendidikan, menitipkan uang sumbangan kepada pihak sekolah dalam upaya memajukan dan meningkatkan kualitas sekolah tidak termasuk ke dalam pungli.

Menghadirkan pemateri dari sesepuh dan tokoh Jabar, akademisi, praktisi pendidikan dan aparat penegak hukum. Mereka adalah Tjetje Hidayat Padmadinata (sesepuh dan tokoh Jabar), Prof Cecep Darmawan, Abdul Hadi Mijaya (Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar), Dede Amar (Ketua PGRI Jabar), Dan Satriana (Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jabar), Iwan Hermawan (Ketua Umum FAGI), Riyono ( Asisten Pidana Khusus Aspidsus Kejaksaan Tinggi Jabar), AKP Supriatna (Polda Jabar) dan Asep Tapip (Ketua Umum AKSI).

Dedi Supandi, Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Provinsi Jabar di daulat menjadi pembicara utama.

Usai kegiatan kepada media Dedi Supandi mengatakan, bahwa hal tersebut merupakan bagian dari uji publik mengenai sumbangan orangtua siswa.

“Beberapa hal yang sudah kita bahas menjadi bahan masukan, Pergubnya (peraturan gubernur) masih dalam bentuk draf,” kata Dedi di tempat kegiatan.

“Nanti rancangannya digabungkan, terpisah atau apa nanti menjadi bagian yang akan kita sampaikan hasil dari uji publik hari ini,” imbuhnya.

Saat ditanya apakah nantinya sekolah melalui komite sekolah boleh menerima sumbangan orangtua siswa terlebih tahun ajaran baru  2022/2023 sudah di depan mata, menurutnya setelah Pergubnya ada, boleh melakukan itu.

“Kita berharap seperti itu,” kata Dedi.

Sedangkan Abdul Hadi Mijaya, Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar dari Fraksi PKS, yang menjadi pemateri mengatakan bahwa dari FGD sudah mau klimaks ke kesimpulan yang bagus, namun di ujung diskusi ada sedikit kontroversi.

“Kami bisik-bisik di atas panggung akan berkumpul membuat suatu forum kecil, akan rumuskan, matangkan dan ajukan ke gubernur sehingga baku,” kata Gus Ahad, biasa disapa.

“Harusnya Pemprov menjadi leading sektor di sini. Bisa menyelasaikan masalah ini,” imbuhnya.

Dihadiri Kepala Cabang Dinas Pendidikan dan perwakilan Cabang Dinas Pendidikan Wilayah I-XIII, Ketua MKKS SMA SMK dan lainnya

Dirinya juga menduga kalau seperti ini akan berkepanjangan. Karena adanya ketidak selarasan.

“Bahkan dari penegak hukum yakni Saber Pungli pun berbeda pandangan dengan guru, kepala sekolah dan lainnya,” kata Gus Ahad.

Makanya setelah kegiatan itu dia akan membuat forum kecil yang paham untuk merumuskannya.

“Saya akan melaporkan ke komisi untuk memfasilitasi ini, agar ujung-ujungnya ada sebuah kesimpulan yang pertengahan, lurus dan bisa disepakati dan akan dibakukan lewat Pergub atau Perda akan dibuat  disepakati sama-sama,” kata Gus Ahad.

Saat ditanya mengenai bantuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum bisa mencukupi untuk pembiayaan investasi di satuan pendidikan, kata Gus Ahad maka harus secepatnya mengkomunikasikan hal ini (sumbangan orangtua siswa).

Sementara itu Asep Tapip Ketua Umum AKSI, yang juga Kepala SMKN 13 Kota Bandung, memaparkan mengenai pembiayaan pendidikan dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat dan Biaya Opersional Pendidikan Daerah (BOPD) dari Pemprov Jabar, selama  ini belum bisa mencukupi standar pendidikan minimal.

Diketahui untuk BOS, per-siswa per-tahun sekitar Rp 1,6 juta, BOPD (sudah berjalan dua tahun) sekitar Rp 160 ribu per-siswa per-bulan.

“Kalau angka itu tidak bisa memenuhi semua kebutuhan sekolah. Termasuk mengejar standar yang ada karena sarana prasarana tidak terpenuhi. Contohnya standar WC perempuan 1 WC untuk 40 orang begitu juga untuk WC pria, kalau siswanya dikali seribu perlu WC berapa?” kata Asep.

Lanjutnya dana bantuan dari pemerintah, selama ini dikelola dan disiasati agar bisa mencukupi biaya operasional dan kegiatan sekolah.

“Contohnya Kalau ada kegiatan lomba-lomba kita pilih yang peluangnya bisa menjadi juara. Kalau dulu saat ada iuran orangtua siswa ada lomba apapun diikuti. Tapi untuk pembelian alat bahan praktek, bisa tercukupi dari dana yang ada,” kata Asep.

Asep juga menjelaskan selama ini para kepala sekolah juga memegang teguh komitmen tidak mencederai mengenai sekolah gratis program Pemerintah Jabar, selalu patuh terhadap aturan yang ada.

Makanya kata Asep, selama ini para kepala sekolah tidak pernah melakukan inisiatif memungut kepada orangtua.

Sedangkan Prof Cecep Darmawan, Guru Besar UPI mengatakan bahwa biaya pendidikan dalam undang-undang tidak melarang pungutan, termasuk di sekolah.

“Yang dilarang itu pungutan liar. Di perguruan tinggi ada juga pungutan, itu tidak dilarang,” kata Cecep.

“PP 48 tahun 2008, berujung soal pungutuan sesuai perundang-undangan,” kata Cecep.

Pungutan bisa dilakukan apabila sesuai perundang-undangan.

Menurutnya selama ini kasihan sekolah, karena kebutuhan pembiayaan sekolah tidak bisa terpenuhi semua dari biaya pemerintah.

Oleh sebab itu masyarakat yang berkemampuan bisa berkontribusi untuk memajukan kualitas pendidikan secara merata.

Sambung Cecep, pungutan yang sesuai dengan perundangan merupakan hal yang legal.

Masih dalam kesempatan yang sama Riyono (Asisten Pidana Khusus/Aspidsus Kejaksaan Tinggi Jabar), memberikan kesimpulan bahwa sehubungan dengan bantuan, sumbangan dan pungutan jangan sampai bersinggungan dengan tindak pidana korupsi.

Hal itu mengacu kepada UU No 31 tahun 1999.

“Berhati-hati dalam pengelolaan uang negara,” kata Riyono. ***

Berita Terkini