Tasikmalaya – Para penerima dana hibah bantuan sosial (bansos) di Tasikmalaya mengungkapkan bahwa adanya pemotongan bansos hingga 50 persen.
Mereka mengungkapkan hal tersebut karena mereka mengaku sama sekali tidak ikut menandatangani NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah), sebelum pelaksanaan pencairan bansos.
Padahal, penandatangan NPHD merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan sebelum serah terima kucuran dana bansos.
Mereka pun menduga kuat adanya pelaku pemotongan dana hibah bansos dari Anggaran Provinsi Jawa Barat tahun 2020.
Sebagaimana diberitakan Kabarpriangan.com dalam artikel, “Babak Baru Kasus Pemotongan Bansos di Tasikmalaya, Modusnya Bikin Geleng Kepala”, dengan melakukan upaya pemalsuan tandatangan hingga akhirnya bantuan bisa cair.
Tidak sampai di sana, pelaku pemotongan yang datang ke setiap lembaga penerima mengaku bernama Subarkah ini langsung mengambil 50 persen nilai bantuan yang diterima.
Ditambah Rp5 juta sebagai dalih untuk pengganti transportasi.
Padahal diketahui rata-rata penerima bantuan besarannya berkisar Rp300 juta sampai Rp400 juta.
Sehingga bisa ditaksir berapa keuntungan yang diperoleh oleh pelaku pemotongan bantuan.
Sebab di kecamatan Sukarame saja sudah ada 7 lembaga pendidikan keagamaan yang berani terbuka dan meminta perlindungan hukum dari LBH Ansor Kabupaten Tasikmalaya.
Belum di kecamatan lainnya yang diindikasi penerima bantuan dari sumber anggaran serupa jumlahnya mencapai puluhan lembaga.
“Saya awalnya dapat Rp310 juta. Namun beberapa waktu kemudian datang dia (pelaku pemotongan) dan meminta separuhnya. Jadi yang saya terima cuman Rp150 juta saja,” ujar Ibu Acun Masmunah, salah seorang penerima bansos yang dipotong.
Selain dirinya, pada Jumat, 19 Februari 2021, ada dua pemilik lembaga lain dari Kecamatan Sukarame yang datang memenuhi panggilan Satreskrim Polres Tasikmalaya.
Mereka diperiksa sebagai saksi awal yang menjadi korban dari kasus dugaan pemotongan bantuan sosial. Mereka pun menjalani pemeriksaan dari pukul 09.00 wib hingga pukul 16.00 wib.
Diungkapkan Ibu Acun, jika awalnya lembaganya dan lembaga lain di kecamatan Sukarame ditawari oleh seseorang dari sebuah organisasi atau lembaga kepemudaan dan keagamaan. Orang ini yang menawari adanya bantuan, namun dengan syarat dibagi 60 : 40 persen.
Akan tetapi anehnya, pemilik lembaga mengaku tidak melakukan penandatangan NPHD sebagaimana mestinya. Mereka hanya diminta nandatangan sebuah proposal yang telah disiapkan.
Akan tetapi anehnya, pemilik lembaga mengaku tidak melakukan penandatangan NPHD sebagaimana mestinya. Mereka hanya diminta nandatangan sebuah proposal yang telah disiapkan.
Setelah itu hanya menunggu pencairan pada bulan Januari 2021. Hingga setelah cair, bantuan kemudian diminta separunya berikut biaya transportasi.
Sementara itu, Ketua LBH Ansor Kabupaten Tasikmalaya, Asep Abdul Rofiq, yang mendampingi para penerima bantuan di Polres Tasikmalaya menjelaskan, fakta baru terungkap jika korban penerima hibah tidak mengajukan bantuan melainkan ditawari sebuah lembaga.
Selain tidak mengurusi proposal, korban juga tidak pernah menandatangani naskah perjajian hibah daerah (NPHD) sebagai syarat pencairan.
“Jadi kami hari ini pendampingan korban pemotongan hibah bansos. Prosesnya penyidikan dan BAP oleh penyidik Satreskrim Polres Tasikmalaya. Kita akan dampingi sampai beres,” jelas dia.
Ia pun meminta para penerima bantuan untuk menyampaikan segala informasi di lapangan kepada penyidik kepolisian. Tanpa ada yang dikurangi atau dilebihkan. Pihaknya pun mencoba menguatkan kembali mental para penerima bantuan yang kini terpuruk akibat terseret kasus ini.
Sebelumnya mereka enggan menerima siapa pun karena merasa banyak pihak yang menekan. Salah satunya dari oknum anggota ormas dan oknum wartawan yang datang namun akhirnya meminta sejumlah uang.
Hingga kini pihak Kepolisian belum memberikan keterangan resmi terkait penanganan kasus ini. Pihak kepolisian mengaku harus mendalami kasusnya karena baru laporan awal.