Program Makan Siang “Prabowo Gibran” Butuh APBN Rp 60 T di Tahun Pertama, Sisanya?

Buletin Kompas Pagi – Program makan siang gratis yang diusung oleh Prabowo-Gibran masih ‘buram’. Terutama, dari sisi anggaran yang belum ada kejelasan.

Wakil Ketua Dewan Pakar TKN Budiman Sudjatmiko mengungkapkan program unggulan berbiaya Rp450 triliun jika dijalankan penuh 100 persen tersebut tak akan membebani keuangan negara.

Ia menyebut program makan siang gratis akan dilakukan secara bertahap. Pada tahun pertama, hanya membutuhkan dana sekitar Rp100 triliun-Rp120 triliun, sedangkan pembiayaan dari APBN hanya 50 persen.

Alokasi APBN yang dibutuhkan pada tahun pertama pelaksanaan program ini diperkirakan sekitar Rp50 triliun‐Rp60 triliun saja,” ujarnya

Menurut Budiman, sisa kebutuhan anggaran atau setengahnya akan didapatkan dari penghematan hasil konsolidasi antara Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), UMKM dan koperasi. Ketiga lembaga itu direncanakan bertugas untuk menyusun kebutuhan bahan-bahan pangan yang dibutuhkan untuk program makan siang gratis, ” Dengan pendekatan gotong royong produksi pangan seperti ini, diperkirakan terjadi penghematan hingga 40 persen‐50 persen dari kebutuhan pembiayaan program dari sumber APBN,” jelas Budiman.

Namun, konsolidasi yang dimaksud belum jelas akan seperti apa, dan bagaimana cara menghemat sisa dana yang dibutuhkan. Apalagi, nilainya cukup besar.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menilai program makan siang gratis ini masih meraba-raba dan seakan sedang kucing-kucingan dengan masyarakat.

Menurut Ronny, jika memang menggunakan anggaran dari BUMDes, UMKM dan koperasi, maka artinya tetap menggunakan uang negara. Sebab, ketiga lembaga tersebut masih mengandalkan pembiayaan pemerintah melalui dana desa dan transfer ke daerah yang ada di APBN, ” Karena tak mungkin ketiga kelembagaan tersebut mendadak punya anggaran total Rp60 triliun dari langit jika tidak dari sumber resmi negara yang diperuntukkan untuk ketiga kelembagaan tersebut,” ujarnya.

Ronny menilai kalau mengandalkan anggaran dari tiga kelembagaan itu, artinya akan ada penambahan dana dari pusat untuk ke daerah, terlebih, skema konsolidasi yang dimaksud belum jelas bentuknya, “Jika memang demikian, maka itu artinya anggaran desa akan ditambah, terutama untuk anggaran BUMDes. Lalu anggaran bantuan untuk UMKM dan koperasi juga naik,” jelasnya.

Apalagi, Ronny melihat ketiga kelembagaan yang dimaksud belum cukup mandiri untuk membantu menyediakan pendanaan, tercermin dari kondisi saat ini yang masih membutuhkan topangan dari pemerintah pusat, “Jelas tidak masuk akal narasi tersebut (konsolidasi BUMDes, UMKM dan koperasi), justru aneh dan lucu. Narasi pembiayaan makan siang gratis ini dari awal aneh-aneh. Narasi justifikasinya juga aneh-aneh, tidak satu narasi. Apalagi menggunakan tiga kelembagaan tersebut sangat rentan korupsi, karena ketiganya bukanlah lembaga dan institusi ekonomi yang teraudit secara resmi selama ini,” ungkapnya.

Ronny menyarankan jika ingin serius menjalankan program ini, maka tim Prabowo-Gibran harus menyusunnya dengan matang. Selain itu, mulai transparan mengungkapkan skema dan sumber anggaran yang diperlukan kepada public, “Rencanakan dengan matang, jangan meraba-meraba, apalagi main kucing-kucingan sama publik alias mencari-cari kesempatan dengan cara membingungkan publik. Buat semuanya terbuka, terukur, agar publik bisa menilainya. Berapapun anggarannya, selama terbuka, diketahui publik, bisa diukur dan dinilai oleh intelektual-intelektual publik, maka tak ada masalah,” jelasnya.

Ronny sendiri menilai tak ada masalah jika memang anggaran program ini diambil secara penuh dari APBN. Toh tujuannya membantu memenuhi nutrisi anak-anak untuk membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas di masa depan

Selain itu, ia mengingatkan harus ada koordinasi dengan Kementerian Pendidikan yang bisa menjangkau langsung ke sekolah-sekolah. Langkah ini juga untuk memberikan kepastian bahwa penerimanya adalah anak yang memang menghadiri kelas setiap hari, ” Karena program ini baik, maka sebaiknya pembiayaannya juga baik, jelas, dan transparan, tidak tebak-tebakan dan tidak kucing-kucingan dengan publik. Jangan berbelit-belit, kesannya seperti sedang main petak umpet, seperti ada yang ingin disembunyikan,” kata Ronny.

Direktur Center of Economic and Law (CELIOS) Bhima Yudhistira juga menilai sumber pembiayaan yang diungkapkan tidak realistis. Sebab, jika hanya sebagian menggunakan APBN, maka akan sulit memberikan makan siang secara gratis, ” Kalau mereka (BUMDes, UMKM dan koperasi) menjadi vendor atau mereka jadi operator memasak dan membagikan makan siang gratis, misalkan ke sekolah-sekolah masih masuk akal, misalnya UMKM di industri kuliner dilibatkan. Tapi kalau sampai kemudian harus menyediakan dana tentu kurang realistis,” ungkap Bhima.

Ia memandang program ini akan tetap bertumpu pada APBN. Namun, yang masih menjadi pertanyaan adalah dananya dari mana. Sebab, anggaran negara sangat terbatas dengan banyaknya program belanja saat ini, “Kalau diambil dari subsidi energi, efeknya ke inflasi dan kemiskinannya justru naik, daya beli melemah. Kalau ini diambil dari anggaran rutin, belanja rutin juga akan berat. Kalau diambil dari utang itu efeknya juga akan jadi beban negara dan akan membuat efek dari risiko fiskal ke moneter, stabilitas nilai tukar terpengaruh,” jelasnya.

Karenanya, Bhima menyarankan agar pemerintahan Prabowo-Gibran nanti sebaiknya menjalankan program makan siang gratis sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Jika memang APBN hanya mampu sedikit, maka disesuaikan atau diberikan hanya untuk wilayah yang memang anak-anaknya membutuhkan sekali, ” Kalau negara sanggupnya hanya kecil dan dengan anggaran yang kecil itu harus dilanjutkan, maka ini bisa jadi pilot project dulu. Misalnya dilakukan di satu dua kabupaten saja dulu di tahun pertama. Ini bisa dites dulu, kalau hasilnya baik ya dilanjutkan. Jadi jangan nafsu dulu untuk membuat program ini jadi kebijakan nasional,” pungkasnya.    (OKS)***

Berita Terkini