
Jabar, TJI – Menyikapi penyaluran bantuan sosial (bansos) dari Pemprov Jabar tak seluruhnya berjalan mulus. Pasalnya terjadi penolakan penerimaan bansos dari warga di sejumlah daerah. Dari 12 ribu paket bansos yang disalurkan, 900 paket di antaranya dikembalikan.
Anggota Komisi V DPRD Jabar Asep Wahyuwijaya mengatakan, fenomena penolakan penerimaan bansos ini harus diantisipasi sedini mungkin. Menurutnya, DPRD Jabar pernah mewanti-wanti skenario pembagian bansos agar tak memicu konflik sosial.
“Meskipun sifatnya belum masif, namun bagaimana pun harus diantisipasi sedini mungkin. Saya dan rekan-rekan di DPRD Jabar sudah berkali-kali mengingatkan akan munculnya potensi ricuh. Tapi karena alasan Perppu 1/2020 itu maka saran dan peringatan kami sah-sah saja apabila dianggap angin lalu oleh pemerintah daerah,” ujar Asep kepada wartawan, Selasa (26/4/2020).
Asep mengatakan, dalam forum rapat pimpinan yang dihadiri DPRD dan Satgas COVID-19 Jabar, pihaknya telah mewanti-wanti apabila pembagian bansos tak matang bisa menjadi pemicu gejolak sosial di akar rumput.
“Lalu, mengapa kericuhan ini bisa terjadi? Sederhana saja kok jawabannya, pemerintah punya uang berapa banyak? Jadi, masalahnya itu bukan pada berapa pintu yang disediakan bagi warga yang berhak untuk menerima bantuan namun pada seberapa besar ruang fiskal yang kita miliki. Itu saja,” paparnya.
Ia pun menggarisbawahi bahwa krisis ekonomi yang berpotensi timbul akibat wabah virus Corona ini, berbeda dengan krisis moneter pada 1998 lalu. Pada 1998 konglomerat hancur karena ekonomi, namun pergerakan ekonomi rakyat dengan sektor informalnya masih mampu menggeliat di arus bawah.
“Nah, kalau sekarang perputaran ekonomi formal di tingkat atas dan kekuatan ekonomi di sektor informal yang di arus bawah itu sama-sama hancurnya. Jadi, warga yang terkategori miskin baru itu jumlahnya menjadi amat banyak. Kondisi perekonominan ini yang sekarang terjadi dan harus diwaspadai oleh semua tingkatan pemerintah ketika akan meluncurkan program bansos,” ujarnya.
Terhalang Perppu No 1/2020
Ia pun menyoroti terbitnya Perppu No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 tanggal 31 Maret 2020. Peraturan itu dinilainya mengebiri keterlibatan parlemen dari tingkat pusat maupun daerah, terkait penganggaran penanganan wabah.
“Sebagai akibat dari telah diamputasinya hak anggaran parlemen dalam hal penanganan wabah COVID-19, protokol penanganan termasuk anggaran yang diperlukannya pun menjadi eksekutif sentris. Desain dan skenario kebijakan dalam hal penanganan wabah termasuk darimana sumber penganggarannya bertumpu pada kepiawaian Presiden dan Kepala Daerah saja,” katanya.
Ia mengatakan, memang sewaktu-waktu ada komunikasi antara eksekutif dan legislatif, namun itu hanyalah bersifat normatif. “Sewaktu-waktu memang ada komunikasi antara pihak eksekutif dengan legislatif terkait rencana penanganan wabah ini hanya secara legal saran dan pertimbangan dari legislatif bisa saja menjadi macan ompong (non-executable) sifatnya. Ketiga, kita sangat memahami bahwa potensi ricuh akan sangat mungkin terjadi saat pembagian bantuan sosial dilakukan kepada warga apabila distribusinya dianggap tidak proporsional jumlahnya,” katanya. **Lukman**