JAKARTA, BKP – Beberapa waktu belakangan ini kita semakin sering dikejutkan dengan berbagai isu kepemipinan yang secara umum dapat dinilai mencemarkan konsep kepemimpinan yang ideal. Dari mulai kebijakan yang dinilai tidak berkeadilan sosial, operasi tangkap tangan, hingga berbagai statement media yang tampak bodoh dan tidak layak disampaikan oleh seorang pemimpin, apalagi yang berada pada tataran kepemimpinan regional, terutama tingkat nasional.
Fenomena ini semakin tampak mencuat ke permukaan sejak diterapkannya konsep One man one vote, sehingga berbagai strategi yang sifatnya sangat jauh dari kepentingan kolektif masyarakat, khususnya kepentingan bangsa semakin dianggap wajar dan biasa. Sungguh kondisi yang mengerikan. Hasil akhir yang dirasakan oleh masyarakat adalah bentuk kepemimpinan yang jauh dari nilai-nilai ideal bangsa yang sehari-hari kita dengung-dengungkan dalam berbagai situasi, yaitu nilai-nilai Pancasila, yang ujungnya hanya bersifat jargon serta alat untuk mencitrakan diri seorang pemimpin sebagai Pemimpin yang Pancasilais.
Secara konseptual dalam kepemimpinan Nasional, Pemimpin tingkat nasional adalah pemimpin-pemimpin di jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta mereka yang berada di jajaran formal dan informal untuk menggerakkan dan mengarahkan potensi bangsa dari berbagai sektor menuju tercapainya cita-cita nasional sesuai tujuan nasional berasaskan landasan idiil Pancasila, landasan konstitusional 1945, landasan visional Wawasan Nusantara, dan landasan konsepsional Ketahanan Nasional.
Jika kita merujuk kepada konsep tersebut, maka kita hanya akan melihat tulisan-tulisan yang hanya sedap dipandang mata, namun secara fakta sangat tidak enak untuk ditelan dan dicerna, bahkan untuk beberapa kasus lebih nyaman untuk dimuntahkan agar tidak menjadi toxic bagi pikiran dan sensitivitas rasa yang sudah kita bangun secara ideal selama ini.
Bagi masyarakat “waras” dan menggunakan otak serta hati secara sehat, kondisi ini sangatlah memuakkan. Kita benar-benar dianggap sebagai penonton bodoh yang tidak mempunyai pilihan, dan dipaksa harus menelan mentah-mentah segala keburukan yang berasal dari standar kepemimpinan yang ideal dari seorang pemimpin. Dan kabar baiknya, masyarakat Indonesia semakin cerdas dalam mencerna situasi terkini sesuai dengan tingkat pendidikan dan strata sosialnya.
Lemhannas atau Lembaga Ketahanan Nasional telah meluncurkan IKNI atau Indeks Kepemimpinan Nasional pada tahun 2003 lalu, karena pada saat itupun dalam melihat kondisi bangsa ini memang sudah dirasa perlu memenuhi asas parsimoni, yang dalam formulasi instrumen pengukuran yang mewakili variabel dan indikator penting sebagai indikator kualitas Pemimpin Tingkat Nasional. Pertanyaanya, kenapa IKNI tidak pernah bisa diterapkan secara praktis dalam berbagai kondisi yang membutuhkan sistem dalam menilai kedibilitas seorang calon pemimpin?
Tentunya selama ini dalam menilai Kualifikasi Pemimpin dari mulai pemimpin lokal, regional hingga Nasional, pendekatan yang dilakukan selalu yang bersifat kualitatif. Jika secara kualitatif sekalipun sosok calon pemimpin dapat dinilai secara objektif memang cakap dan pantas untuk mengemban amanah tersebut, tentunya akan menghasilkan sosok pemimpin yang baik dan memang layak untuk memimpin. Tapi jika penilaian dilakukan secara subjektif kualitatf, maka berbagai parameter akan berkembang secara liar, dan bermuara kepada kepentingan yang jauh dari pro masyarakat secara keseluruhan.
Merujuk kepada sebuah rekomendasi Seminar yang pernah diadakan oleh Lemhannas bagi para peserta PPRA (Program Pendidikan Reguler Angkatan) Angkatan 50, ada beberapa hal yang sangat baik untuk diimplementasikan dalam memilih calon pemimpin Nasional, mengingat eksistensi Lemhannas sebagai Lembaga yang memayungi masalah ketahanan Nasional:
(1) Menegaskan pentingnya mekanisme dan kriteria identifikasi, seleksi, dan pembinaan Pemimpin Tingkat Nasional
(2) Lemhannas RI memiliki Pusat Kajian Kepemimpinan Tingkat Nasional
(3) Lemhannas RI bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait di lingkungan NKRI melakukan survei kepemimpinan tingkat nasional sebagai instrumen pengambilan keputusan dalam rekrutmen, seleksi, dan pembinaan pemimpin tingkat nasional
Selain itu, harus ada sebuah sistem yang menangai Manajemen Talenta Nasional, yang mempunyai konsentrasi pada pembangunan tanah dan laut, mengingat Indonesia adalah negara maritim sekaligus negara agraris, yang tentunya berkaitan dengan strategi pembenahan sistem pertanahan yang dikuasai oleh kekuatan Mafia Tanah yang harus segera dibersihkan, hingga pengoptimalisasian tanah dengan berbagai konsep usaha untuk kesejahteraan rakyat menyangkut ketahanan pangan, industri, perumahan, adat, dan lain-lain.
Disamping itu pengoptimalisasian Potensi Maritim yang terbagi pada potensi Ocean (Laut) yang masih jauh dari ideal, terutama untuk pemenuhan kebutuhan makanan laut yang merupakan sumber protein dalam menekan pertumbuhan stunting, dan Optimalisasi Coastal (Pesisir) untuk pemberdayaan masyarakat pesisir yang secara umum masih termarjinalkan.
Dalam Manajeman Talenta Nasional ini, para calon pemimpin Nasional harus digodok sehingga mampu menjadi Pemimpin yang memiliki Visi Pemimpin Tingkat Nasional, yang berpijak dan mengacu pada Pembukaan UUD 1945 (Secara Murni dan Konsekuen). (*)