
BKP – Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto mengatakan, harapan agar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat diperbaiki tak ubahnya menunggu lebaran kuda.

“Yang kami maksud dengan perbaikan adalah merevisi total UU ITE dari pasal-pasal yang bermasalah,” ujar Damar dalam acara peluncuran buku dan microsite yang disiarkan akun YouTube Safenet Voice.
“Tapi kami mendengar dan membaca sendiri perbaikan-perbaikan yang diinginkan itu seperti lakon cerita Godot menunggu Tuhan, seperti pungguk merindukan bulan, seperti menunggu lebaran kuda yang tidak akan datang,” imbuhnya.
Sehingga, ia tak heran bila banyak laporan baik dari dalam maupun luar negeri yang menyebut telah terjadi regresi atau kemunduran demokrasi di Indonesia akibat keberadaan UU itu.
“Ada juga spektrum yang lebih akut yang mengatakan bahwa kita masuk neo otorianisme, kita menjalani Orba jilid II, atau otoritarianisme digital seperti laporan kami melihat situasi di tahun 2019,” kata Damar.
Sementara itu, jurnalis yang pernah terjerat UU ITE, Diananta Putra Sumedi menyebut bahwa siapa saja bisa terjerat UU ITE, sekalipun itu seorang wartawan yang bekerja dilindungi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ia berharap pemerintah dapat membuka mata untuk bisa mencabut pasal karet dalam UU ITE. “Saya berharap pemerintah membuka diri, membuka mata, buka lah mata pemerintah, cabut pasal-pasal karet,” tegas dia.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan akan merevisi empat pasal UU ITE setelah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo.
Keempat pasal yang bakal direvisi meliputi Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36. Perbaikan ini juga satu paket dengan penambahan satu pasal dalam UU ITE, yakni pasal 45C.