
Sumedang – Keterbatasan tak membuat Dede Tresnawan (40) menyerah. Dede merupakan penyandang disabilitas tunanetra. Dan Kedua matanya tak bisa melihat sama sekali.
Meski demikian, hal itu tak membuatnya mengurungkan langkah untuk memasuki dunia pendidikan orang-orang normal. Dia ingin membuktikan bahwa dia hanya berbeda, tetapi bukan berarti dia tidak mampu.
Tekadnya yang kuat terbukti. Dia lulus dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidika (STKIP) Siliwangi, Kota Cimahi. Dengan ijazah sarjana itu, dia melamar sebagai guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri B Kabupaten Sumedang, almamaternya dulu. Hingga kini, dia sudah mengabdikan diri sebagai guru selama 13 tahun.
“Saya kembali ke SLB ini untuk ikut mengembangkan sekolah ini. Indah rasanya merasakan almamater sendiri berkembang dengan baik,” kata Dede Tresnawan kepada wartawan di SLBN-B Kabupaten Sumedang, Kecamatan Cimalaka, Senin (11/12/2023).

Meski kelopak mata Dede tertutup, tetapi wajahnya semringah saat berbincang. Bahkan dia sangat lancar berbicara.
Dede sebenarnya guru bahasa Inggris. Namun diminta juga untuk mengajar Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (PAI BP), serta pelajaran Seni-Budaya.
Salah satu murid Dede adalah Reki Faturrahman (10), yang hari ini, Selasa (12/12/2023), mewarnai berita pada halaman utama Harian Pagi Tribun Jabar. Reki adalah penyanyi cilik yang mengalami disabilitas netra total, sama seperti Dede. Dia mengaku sempat merasakan indahnya cahaya hingga usia 15 tahun.
Dia mengatakan, setelah usia itu, Allah SWT mencabut nikmat cahaya yang masuk kepada matanya dan menggantinya dengan banyak kepiawaian lain untuk bertahan hidup.
Ya, selain mahir berbahasa Inggris, Dede piawai bermain keyboard. Tuts-tuts pianikal yang warna dan ukurannya sama itu oleh Dede dimainkan tanpa mengandalkan pengelihatan.
“Bermain musik menyelamatkan saya dari masa-masa krisis, ketika saya mulai mengajar tetapi belum diberi honor. Saya menyambung hidup dari bermain keyboard di tempat wisata di Kampung Karuhun, Citengah. Waktu itu diminta langsung oleh pemiliknya, Pak Haji Nana (mantan Ketua PHRI Sumedang), untuk manggung setiap Sabtu-Minggu,” kata Dede.
Riwayat pendidikan Dede Tresnawan dimulai pada tahun 1992. Pada tahun itu, dia masuk ke SLB Negeri B Sumedang untuk jenjang SD lulus pada 1998, dan SMP di tempat yang sama lulus tahun 2001.
Memasuki jenjang SMA, Dede tak mau lagi sekolah di SLB. Dia lalu hijrah ke Cicalengka, Kabupaten Bandung, untuk bersekolah di SMA PGRI Cicalengka.
Dede menegaskan, itu adalah sekolah umum, untuk orang-orang normal.
Namun, Dede bisa mengikuti pelajaran. Bahkan di tempat inilah dia mulai tertarik dan begitu mendalami bahasa Inggris, meski ketika itu tidak ada penjurusan bahasa di sekolahnya.
“Tahun 2001-2004 ke SMA PGRI Cicalengka itu SMA umum, bukan untuk disabilitas netra. Saya akhirnya ambil jurusan IPS dan semakin tekun belajar bahasa Inggris,” katanya.
Selasai SMA, Dede semakin haus pengetahuan, haus ilmu, sehingga dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke STKIP Cimahi. Dia kulia pada 2004-2008.
“Ada orang bertanya mengapa mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan bukan Pendidikan Disabilitas, saya jawab, saya ini orang disabilitas, untuk apa belajar lagi ilmu disabilitas,” kata Dede.
Dede yang kini tinggal di Dusun Marga Mukti, Desa Licin, Kecamatan Cimalaka,mengakui, cita-citanya dulu bukanlah menjadi guru bahasa Inggris, namun menjadi musisi, seniman musik.
“Cita-cita memang bukan menjadi pengajar, awalnya di musik, saya ingin jadi musisi dan penyanyi ketika saya masuk (SLB). Itu karena saya disuguhkan teman-teman yang banyak seninya tinggi. Lalu saya mengenal bahasa Inggris,” katanya.
Dia berpikiran, menjadi pengajar tentu akan memberi dampak lebih besar untuk sesama. Namun, dia memastikan, bukan berarti bermusik tidak memberi dampak baik.
Selama 13 tahun mengajar, Dede masih berstatus sebagai honorer yang kini hanya mendapatkan honor sebesar Rp 2,4 juta per bulan.
Dulu memang dia diberi tempat tinggal di asrama SLB Negeri B Sumedang. Bamun sekarang telah memilih tempat tinggal lain bersama istri yang bernama Asih (43) dan dua anaknya.
Dia berharap, ada perhatian khusus dari pemerintah kepada orang-orang seperti dirinya.
“Bagi pemangku kebijakan, perhatikan kami (honorer) yang nasibnya masing terkatung-katung,” ucapnya. ***