Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, antara penanganan bencana dan tindak pidana korupsi saling berimpitan. Ada empat titik yang rawan dikorupsi pada penanganan bencana.
Empat titik rawan penanganan bencana, yakni pengadaan barang dan jasa, refocusing dan realokasi anggaran pada APBN dan APBD, pengelolaan filantropi atau sumbangan pihak ketiga yang dikategorikan bukan gratifikasi dan penyelenggaraan bansos.
Terkait kerawanan itu, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola mengusulkan pemerintah membentuk tim khusus sebagai pengawas anggaran saat bencana, termasuk saat pandemi Covid-19 ini.
“Pendekatan antikorupsi seharusnya diterapkan secara keseluruhan. panduan penggunaan anggaran pengadaan barang/jasa (PBJ) untuk percepatan penanganan Covid-19 yang dikeluarkan KPK tentu tidak cukup,” katanya saat dihubungi Kamis (21/5).
“Harusnya bisa mencontoh pengelolaan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) pada waktu tsunami Aceh tahun 2004. Dimana ada tim antikorupsi khusus yang mengawasi pengelolaan kebijakan dan pendanaan, serta mendorong pihak-pihak lain untuk patuh pada koridor antikorupsi,” pungkasnya
Menurutnya, saat ini KPK hanya bicara soal panduan pengadaan saja. Sedangkan tim khusus tersebut memiliki kewenangan lebih dalam melaksanakan pengawasan.
“Kalau mengikuti skema BRR, dia leading di koordinasi dengan badan-badan pengawasan lain. Kalau saat ini bisa jadi koordinator dengan KPK, BKPP, LKPP. Nantinya, mungkin lebih tepat di gugus tugas itu ya, dibentuk desk khusus atau tim khusus,” usulnya.
Alasannya adalah dalam situasi krisis seperti ini, kata Alvin, potensi potensi penyalahgunaan anggaran bencana sangat rentan seluruhnya alami tindak korupsi.
“Program bantuan sosial dan pengadaan alat kesehatan dapat menjadi contoh potensi korupsi yang paling rawan. Karena minimnya transparansi data pengadaan, tidak ada data agregat terbuka penerima bantuan, dan pengawasan minim dari penegak hukum,” tutupnya.