Jakarta, TJI – Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengungkap alasan mengapa Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual betul-betul dibutuhkan.
Adapun penjelasan ini disampaikan Siti untuk merespons masih adanya pihak-pihak yang menanyakan alasan penting untuk mendukung RUU PKS, meski ada UU lain yang mengaturnya.
“Kalau kita lihat dari KUHP, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Perlindungan Anak, Pengadilan HAM, UU Disabilitas, sampai PP nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Kita lihat bahwa definisi kekerasan seksual itu tidak ada,” kata Siti dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Komnas Perempuan Terkait RUU PKS, Senin (29/3/2021).
Kendati demikian, ia menjelaskan bahwa kekerasan seksual sudah disebut dalam UU PKDRT meski dalam lingkup domestik. Kemudian, kekerasan seksual juga ada di dalam PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, tetapi tanpa sanksi.
“Kemudian untuk tindak pidana kekerasan seksual, kita lihat pelecehan seksual fisik itu hanya ada di dua UU yaitu KUHP dengan menggunakan istilah pencabulan, dan UU Perlindungan Anak juga dengan istilah pencabulan, tapi itu untuk di lingkup anak,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut dia, untuk pelecehan seksual non fisik yang termasuk bentuk kekerasan seksual di RUU PKS juga belum ada UU yang mengatur.
Selanjutnya, untuk eksploitasi seksual yang diatur dalam UU TPPO harus memenuhi syarat proses, cara dan tujuan.
“Dan di UU Perlindungan Anak, hanya untuk anak,” tambahnya.
Lebih lanjut, Siti juga menyoroti terkait pemaksaan kontrasepsi hanyalah upaya menerjemahkan dari UU Pengadilan HAM dan UU Disabilitas.
Pemaksaan kontrasepsi dalam UU Pengadilan HAM dijelaskan harus memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
“Ini berarti kalau tidak ada syarat TSM, maka pemaksaan kontrasepsi tidak bisa dipidana. Sedangkan di UU Disabilitas maupun di UU Pembangunan Keluarga istilah itu ada, tapi tanpa sanksi, juga tanpa unsur,” nilai dia.
Lebih jauh, Siti menjelaskan soal perkosaan yang definisinya diatur dalam KUHP, UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak dengan lingkup yang terbatas. Ia mencontohkan di KUHP, definisi perkosaan adalah penetrasi penis ke vagina yang mengeluarkan sperma.
“Berarti pemerkosaan hanya diakui antara laki-laki terhadap perempuan. Padahal kasus-kasus yang kami hadapi, pemerkosaan tidak terbatas hanya penetrasi penis ke vagina, tapi juga penetrasi ke anus, penetrasi ke mulut, tidak hanya dengan menggunakan penis,” ucap Siti.
Namun, Siti mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dikenakan pemerkosaan, melainkan diatur sebagai pencabulan. Padahal, ancaman pencabulan justru menjadi lebih rendah.
Kemudian, untuk pemaksaan perkawinan juga tidak diatur dalam aturan undang-undang manapun. Hanya saja, ia menemukan pemaksaan perkawinan diatur dalam UU Perlindungan Anak, meski tanpa sanksi dan hanya di lingkup anak.
Diketahui, RUU PKS turut masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas 2021. Namun, RUU ini sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan sejak 2012. Pada Selasa (23/3/2021), atau hampir 10 tahun sejak diusulkan, RUU PKS akhirnya disahkan masuk dalam daftar RUU Prolegnas Prioritas 2021 dan berada di urutan nomor 16. Adapun RUU PKS berasal dari usulan anggota DPR dan Baleg DPR. **AJS**